trustnews.id

Bersiap sebelum  Digulung Industri 4.0
Ekonomi,industri4.0

Bersiap sebelum Digulung Industri 4.0

MAKRO Senin, 04 Maret 2019 - 18:00 WIB TN

Teknologi menawarkan kemudahan, namun juga menyimpan bom waktu bila tidak dipersiapkan. Pekerja manual diprediksi akan lenyap.

Making Indonesia 4.0. sebuah nama yang gagah terdengarnya. Diyakini pula, Making Indonesia 4.0 akan mengantar negeri ini masuk dalam sepuluh besar ekonomi terbesar di dunia pada 2030 mendatang.
"Dengan kecepatan yang sangat tinggi, artificial intelligent, internet of thing, big data, advanced robotics semuanya keluar, saya meyakini bahwa dengan persiapan pembangunan sumber daya manusia kita akan bisa mempersiapkan bangsa kita menuju Revolusi Industri 4.0," ucap Joko Widodo (Jokowi) menjawab pertanyaan panelis terkait strategi capres dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 di tengah pelaku ekonomi berskala kecil dan tradisional seperti sektor pertanian, perikanan, dan peternakan dalam debat calon presiden putaran kedua, Minggu, (17/2) lalu.
Keyakinan Jokowi sebangun dengan ambisi pemerintah saat program ini diluncurkan November 2018 lalu, Making Indonesia 4.0 menargetkan bakal mengembalikan sumbangsih rasio ekspor netto terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 5%-10% pada tahun 2030.
Adapun lima teknologi utama yang menopang pembangunan sistem industri 4.0, yaitu Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D-Printing.
Pada tahap awal implementasi Making Indonesia 4.0. lima sektor manufaktur yang bakal diprioritaskan pengembangannya yakni industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik serta kimia.
“Saya meyakini bahwa kita akan menyongsong revolusi Industri 4.0 dengan optimis. Coba kita lihat, sekarang ini produk-produk petani sudah masuk ke marketplace, TaniHub coba dilihat, TaniHub sudah memasarkan produk-produk petani dari produsen langsung ke konsumen sehingga harganya bisa di-cut,” papar Jokowi.
Apa yang dipaparkan Jokowi dalam debat lalu, senada dengan Profesor Klaus Schwab. Penggagas World Economic Forum (WEF) dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution menyatakan, “revolusi ini secara fundamental dapat mengubah cara kita hidup, bekerja dan berhubungan satu dengan yang lain. Revolusi industri keempat digadang-gadang mampu meningkatkan laju mobilitas informasi, efisiensi organisasi industri, dan membantu meminimalisasi kerusakan lingkungan”.
Sementara Prof. Dr. Bambang Purwoko, Guru Besar Tetap Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pancasila menilai butuh kehati-hatian dalam masa transisi dari Industri 3.0 dengan basis otomatisasi ke Indsutri 4.0 dengan interkoneksitas, karena menimbulkan potensi menghilangnya pekerjaan manual.
“Kalau tidak hati-hati perpindahan dari Industri 3.0 ke Industri 4.0 memicu potensi tidak saja menghilangkan, tapi juga melenyapkan pekerjaaan-pekerjaan yang masih dilakukan oleh tenaga manusia dalam kurun waktu 2025-2030,” ujarnya kepada Trust News.
Bambang pun sedikit menggambarkan sejarah revolusi di bidang industri ditandai dengan mesin uap sebagai era Industri 1.0 tahun yang berlangsung antara 1750-1850. Sebuah periode dimana tenaga manusia dan hewan digantikan oleh mesin.
Penemuan tenaga listrik penanda Revolusi Industri 2.0 antara 1870-1914 yang memicu lompatan besar umat manusia dengan kemunculan  pesawat telepon, mobil dan pesawat terbang. Hal ini memicu lahirnya Revolusi Industri 3.0 yang ditandai dengan kemunculan teknologi digital dan internet, sekitar tahun 1970 atau 1990-an dengan puncaknya revolusi digital. Sebuah masa yang menyatukan waktu dan jarak atau real time. 
Debut Revolusi Industri 3.0 ditandai dengan kemunculan  pengontrol logika terprogram pertama (PLC), yakni modem 084-969. Sistem otomatisasi berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan manusia. Dampaknya memang biaya produksi menjadi lebih murah.
Revolusi Industri 4.0 ditandai dengan proyek strategis teknologi canggih pemerintah Jerman yang mengutamakan komputerisasi pada semua pabrik di negeri tersebut pada tahun 2011. Saat ini industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada di mana-mana. Istilah ini dikenal dengan nama internet of things.
“Perkembangan teknologi yang ditawarkan dalam Revolusi Industri 4.0 cepat atau lambat akan memicu gelombang kedua yakni tenaga manusia digantikan mesin sebagaimana dulu terjadi pada Revolusi Industri 1.0. Orang tak perlu lagi ke bank untuk menyimpan, mengambil dan mengirim uang, cukup datang ke anjungan tunai mandiri (ATM) semuanya terlayani,” ujarnya.
Pertanyaannya, lanjutnya bila semua perbankan mengganti pekerjaanya dengan mesin-mesin ATM -bekerja 24 jam tanpa mengenal hari libur, pemberian tunjangan hari raya, biaya kesehatan dan pesangon- berapa banyak orang yang akan kehilangan pekerjaannya. 
“Itu baru dari satu sektor, masih banyak lagi sektor yang akan melenyapkan tenaga kerja manusia seperti agen-agen perjalanan dan toko-toko ritel diganti dengan sistem penjualan berbasis online menyebabkan puluhan tenaga kerja kehilangan pekerjaannya,” cetusnya.
Perubahan yang begitu cepat dalam Revolusi Industri 4.0, menurut Bambang Purwoko akan berimbas terhadap sistem jaminan sosial pekerja. Selama ini jaminan sosial yang berlaku adalah mereka yang bekerja memiliki waktu bekerja dan tempat bekerja. Bila kemudian terjadi pengurangan jumlah pekerja karena digantikan dengan mesin, otomatis para pekerja akan kehilangan jaminan sosialnya.
“Saat ini saja jumlah penduduk miskin ada sekitar 25,67 juta jiwa itu kata Badan Pusat Statistik (BPS), kalau tidak diantisipasi akan terjadi lonjakan jumlah pengangguran akibat tergusur robot hasil Industri Revolusi 4.0. Apakah pemerintah, khsususnya Kementerian Tenaga Kerja sudah mengantisipasinya,” ujar Bambang. 
Kemenaker, lanjutnya wajib mengetahui segala dampak yang akan timbul bila Revolusi Industri 4.0 diterapkan, bagaimana aturan mainnya karena tidak bisa mengombinasikan antara digital dan tenaga manual.
“Kemenaker harus membuat regulasi yang melindungi tenaga kerja manual karena posisinya akan sangat lemah bila perusahaan tempatnya bekerja mulai menerapkan sistem interkoneksi. Pada posisi ini Kemenaker jangan galau atau bahkan ikutan galau untuk membela pekerja manual,” pungkasnya.(TN)