trustnews.id

Industri Kimia Hilir Riset & Inovasi Memberi Nilai Tambah
Taufik Bawazier, Direktur Industri Kimia Hilir, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kemenperin

Riset dan inovasi di sektor industri kimia hilir memberi nilai tambah bagi industri dalam negeri, mulai dari karet hingga farmasi obat tradisional. Prihatin soal sampah plastik yang bisa merugikan industri dalam negeri. 

…. Yang sedang sedang saja
Semisal lagu yang “Sedang Sedang Saja” milik Vety Vera, begitulah kondisi di sektor industri kimia hilir. Idealnya, industri ini harus berada di atas pertumbuhan ekonomi. Saat ini tingkat pertumbuhan ekonomi nasional 5,17%, namun pertumbuhan sektor industri kimia hilir sebesar 4,7%.
“Idealnya harus berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Secara general pertumbuhan industri kimia hilir sebesar 4,7%, Namun ada industri-industri sektoral ini yang tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi,” ungkap Taufik Bawazier, Direktur Industri Kimia Hilir, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil dan Aneka Kemenperin kepada Trust News beberapa waktu lalu.
Sektor karet, misalnya mengalami pertumbuhan di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Produksi karet mencapai 3,7 juta ton. Dari jumlah tersebut kebutuhan dalam negeri sekitar 300-400 ribu ton dan kebanyakan diserap oleh industri-industri manufaktur, khususnya sektor otomotif. Selebihnya sekitar 85% dari produksi karet Indonesia di ekspor ke luar negeri, seperti Asia, Amerika Utara dan Eropa.  
“Jadi kalau harga internasional jatuh, kasian petani,” ujarnya.
Upaya-upaya melakukan inovasi di sektor karet, lanjutnya, terus dilakukan melalui kerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk melakukan revitalisasi industri karet dengan memasukkan teknologi canggih. Mulai dari retread ban pesawat hingga rubber airbag (sebagai bantalan dalam menaikkan dan menurunkan kapal).  
BPPT bersama PT Samudera Luas Paramacitra, Cirebon, berhasil melakukan perekayasaan teknologi material melalui pengembangan teknologi pembuatan rubber airbag dengan memanfaatkan bahan baku karet alam lokal. Inovasi buatan lokal ini bertujuan agar Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) industri perkapalan dapat ditingkatkan.
“Fungsi inovasi menjadi sangat penting untuk hilirisasi bahan baku karet. Kalau kita lihat karet termasuk bahan baku dalam negeri yang melimpah dengan inovasi-inovasi akan menghasilkan produk yang berkualitas dan harganya 10% sampai 15% lebih murah dari produk impor dengan kualitas yang setara,” ujarnya.
Begitu juga dengan prospek farmasi yang cukup menjanjikan kedepannya, khususnya obat-obatan tardisional. PT Ferron Par Pharmaceuticals (Ferron), misalnya,  tidak saja mampu menembus pasar Inggris lewat inovasinya, juga ke pasar Jerman dan Belanda. Ferron tercatat sebagai perusahaan farmasi Indonesia pertama yang berhasil menembus pasar Inggris sejak tahun 2008.
Salah satu obat produksi Ferron, yaitu Metformin Sustain Release (dikenal dengan Glucient SR), digunakan oleh National Health Care System di Inggris. Produk ini untuk pasien diabetes, yang di Inggris prevalensinya mencapai 6% dari total populasi. Ferron berhasil menemukan produk inlacin berbahan baku kayu manis yang apabila dikonsumsi dengan bahan metformin membuat pengobatan diabetes lebih efektif. 
“Contoh kongkrit Ferron, untuk tembus pasaran Inggris tidak mudah, butuh waktu sampai lima tahun untuk mendapatkan  UK-MHRA (lembaga yang bertanggungjawab untuk memantau keamanan, kualitas, dan efektivitas obat-obatan yang dipasarkan di wilayah Inggris/red) dan setiap tahun mereka datang untuk melihat prosesnya bahkan sampai urusan debu menjadi perhatian,” paparnya.
Keberhasilan Ferron, lanjut Taufik Bawazier, menjadi pintu masuk bagi para pengusaha farmasi di tanah air untuk mengolah bahan baku tanaman tradisional menjadi obat-obatan herbal yang tidak kalah dengan obat-obatan kimia.
“Riset di bidang farmasi menjadi penting untuk memberikan nilai tambah. Fitofarmaka meski prosesnya terbilang rumit karena melakukan uji coba kepada manusia, namun bila berhasil sebagaimana Ferron dengan kayu manisnya tentu memberikan nilai tambah bagi para pelaku farmasi di dalam negeri akan obat Indonesia,” ujarnya.
Selain meyakini keberhasilan Indonesia di bidang farmasi, Taufik juga angkat bicara keprihatinannya terkait masalah keberadaan plastik yang menjadi kontroversi di masyarakat. 
“Urusan sampah plastik, jangan salahkan plastiknya. Namun bagaimana budaya membuang sampah pada manusianya,” ujarnya. 
Pengenaan cukai atau pelarangan penggunaan kantong plastik, di satu sisi mungkin mengurangi sampah plastik yang membutuhkan waktu puluhan tahun agar terurai. Namun kalau tidak hati-hati bisa menyebabkan jutaan manusia menganggur dan hilangnya pendapatan hingga Rp10,1 triliun.
“Dari setrep saja bisa menghasilkan surplus 46 US juta dolar. Itu bahan baku plastik yg diolah. Lalu daur ulang nilainya 10.1 triliun, total nasional. Artinya apa? Jangan main-main sama ini,” tegasnya.(TN)