trustnews.id

Energi Mikro Hidro Terganjal Ego Sektoral
Ilustrasi: Google

Energi Mikro Hidro Terganjal Ego Sektoral

NASIONAL Selasa, 06 Agustus 2019 - 07:09 WIB TN

Ego sektoral antar departemen, dalam membuat kebijakan dan regulasi jadi penyebab lambatnya pencapaian target bauran energi. 

Urusan energi terbarukan agaknya bikin sejumlah pihak panas dingin. Bila Presiden Joko Widodo masygul soal realisasi (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), lain lagi dengan Riza Husni. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) ini, dibuat gusar dengan kebijakan pemerintah terkait Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
“Ada kesalahpahaman dari menteri BUMN, pemerintah ingin menggalangkan energi terbarukan, tetapi menteri BUMN inginnya PLN untung,” ujarnya.
Riza pun mengambil secarik kertas. Dia membuat hitung-hitungan. Biaya per kWh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sekitar 4-5 sen Rp600-Rp700 (kurs Rp14.000 per dolar). Sedangkan PLTMH biaya per kWh US$ 0,09 sampai 0,12 per kWh (Peraturan Menteri Energi Nomor 19 Tahun 2015). PLN mematok harga US$ 0,07 sampai 0,08. Alasannya, PLN bisa menanggung sendiri (nombok) bila melewati biaya subsidi.
“Dalam jangka pendek memang menguntungkan PLTU, 5 sampai 10 tahun mendatang. Bandingkan dengan PLTMH di Papua US$ 12 sen kali 1,6 atau Rp 2.496/kWh kontrak selama 25 tahun plus Biaya Pokok Penyediaan (BPP) masih jauh lebih ekonomis hidro,” ujarnya.
Selain nilai keekonomisannya, lanjut Riza, PLTMH juga tidak menimbulkan polusi dibandingkan PLTU dengan batubaranya. Sejumlah negara di dunia telah menyatakan komitmennya untuk menutup PLTU karena memiliki dampak ekologi dan pencemaran udara.
“Sejumlah negera sudah berkomitmen menjadi negara yang mengusung energi bersih dengan menutup PLTU. Penggunaan batubara memang murah dalam jangka pendek, tapi apa sudah dihitung biaya kesehatan masyarakatnya, BPJS-nya naik apa turun. Kalau dihitung jauh lebih tinggi. Jauh lebih bagus hidro,” paparnya. 
Bagi Riza, saat Presiden menetapkan target bauran energi 23% di tahun 2025, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Paris Agreement, para menteri berpikir bagaimana cara mewujudkannya dan menghilangkan ego sektoral dalam menyusun program sehingga tidak jalan sendiri-sendiri.
“Tahun 2025 itu tinggal berapa lama lagi dan pencapaian target itu sudah sampai mana. Departemen terkait bauran energi membuat peraturan, departemen lain tinggal menjalankannya, bukan jalan sendiri-sendiri. Kalau pemerintah mau mengeluarkan dolar untuk membeli batubara, seharusnya pemerintah juga mau memberikan dolar kepada para pengembang energi terbarukan,” tegasnya.
“Bila pemerintah mau mengeluarkan dana untuk biodiesel, seharusnya juga kepada Biomassa. Ini merangsang masyarakat untu menanam pohon, pohonnya dibeli pemerintah, duitnya tidak lari ke luar negeri tapi berputar di masyarakat,” ujarnya.
Hanya saja, lanjutnya, biomassa seperti juga hidro dipinggirkan dengan beragam alasan. 
“Ujung-ujungnya lebih baik mengeluarkan dolar untuk membeli batubara. Kita ada angin, ada air, ada cahaya matahari, pertanyaannya dalam kurun waktu empat tahun terakhir sangat sedikit. Kok sedikit, karena regulasinya tumpang tindih antar departemen dan memberatkan bagi para pelakunya,” pungkasnya. (TN)