trustnews.id

Merasakan Perbedaan Dalam Islam: Itu Rahmat
KH. Abdullah Syamsul Arifin

Merasakan Perbedaan Dalam Islam: Itu Rahmat

TOKOH Kamis, 26 September 2019 - 16:00 WIB TN

Malam ini, Jakarta tidak seperti hari-hari biasanya, massa demonstrasi penuntut keadilan dan para kelompok berkepentingan memadati ibukota ditambah lagi para pelajar SMK yang tidak mau kalah dengan para seniornya mahasiswa menambah kepadatan ibukota apalagi lokasi pengajian kita bersama Dr. KH. Abdulloh Syamsul Arifin  yang diselenggarakan oleh Bukanagara Coffee berada di SCBD Sudirman dekat dengan senayan tempat berkumpulnya massa. Namun hal itu tidak menyulutkan semangat juang para pencari kenikmatan jiwa (soul pleasure).

Meski acara sempat terlambat karena Pembicara terjebak arus lalu lintas yang padat kerumunan massa, pengajian pun tetap dimulai dengan penuh hikmat. Sebelum memulai tidak lupa didahului doa untuk keselamatan rakyat, keselamatan para demonstran, keselamatan aparat negara serta berdoa agar Tuhan menjaga kita dari kelompok yang ingin merusak kesatuan bangsa dan negara ini.   

Di awal pengajian KH. Abdullah Syamsul Arifin menjelaskan perbedaan (ihtilaf) dikalangan umat Islam bukanlah kali pertama terjadi, ini tidak lain adalah rahmat sebagaimana qaul Nabi Ikhtilafu Ummati Rahmatun (Perbedaan yang ada pada ummatku adalah rahmat). 
Kemudian KH. Syamsul Arifin menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dikalangan umat muslim terjadi ketika Nabi Muhammad S.A.W meninggal dunia pada tahun 11 Hijriah. Kala itu terjadi perpecahan antara sahabat Anshor dan sahabat Muhajirin tentang dari golongan manakah yang menjadi pengganti nabi. Akhirnya sayyidna Umar bin Khotob memberikan pendapat bahwa yang pantas menjadi kholifah adalah sayyidina Abu Bakar As Shidiq dari kalangan sahabat Muhajirin dan berpendapat yang pantas menjadi para menterinya adalah sahabat dari kalangan Anshor. Pendapat sayyidina Umar ini di amini oleh seluruh sahabat, peristiwa ini kita kenal dengan istilah musyawarah mufakat.   

Masa pemerintahan sayyidina Abu bakar ini tidak berlangsung lama hanya sekitar 2 tahun kemudian belaiu menunjuk Sayyidina Umar Bin Khotob sebagai penggantinya lantaran sayyidina Umar Bin Khotob memiliki karakter yang kuat namun tidak anarkis dan lembut namun tidak lemah. Karakter inilah yang menurut Sayyidina Abu Bakar cocok untuk dijadikan pemimpin. Akhirnya sayyidina Umar pun dibaiat oleh para sahabat untuk menjadi khalifah. Pada masa sayyidina Umar ini pemerintahanya berlangsung cukup lama kurang lebih 12 tahun dan mampu memberika kesejetahteraan bagi rakyat. 
Masa khilafah selanjutnya diteruskan oleh Sayyidina Ustman bin Affan kemudian diteruskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Pada masa sayyidia Ali Bin Tholib inilah terjadi peristiwa besar yang dikenal dengan istilah Fitnah Kubro. Fitnah yang dapat mencerai berai bahkan dapat membunuh satu sama lain seiman karena adanya berita berita tidak benar yang disebarkan untuk mencapai kepentingan tertentu. Istilah sekarang ini kita kenal dengan Hoax, maka sudah barang tentu hoax ini merupakan bahaya besar yang harus disikapi dengan bijak. 

Dari peristiwa Fitnah Kubro tersebut melahirkan tiga kelompok. Pertama kelompok Syi’ah yaitu kelompok yang fanatic dan mempunyai militansi kepada sayyidina Ali, kedua kelompok Murjiah yaitu kelompok yang berusaha netral dalam menyikapi isu, tidak memihak dan mengembalikan semua urusan kepada Allah, ketiga adalah kelompok Khawarij yaitu kelompok yang mengganggap orang yang terlibat dalam perang siffin adalah pendosa besar dan wajib dibunuh. Kelompok khawarij pada akhirnya berhasil membunuh sayyidina Ali namun gagal membunuh sahabat lainnya. Mereka inilah kelompok islam ekstrimis pertama yang tidak siap menerima perbedaan. Mereka membangun opini untuk melegalkan perbuatanya dan mengganggap kelompok lain adalah salah. Inilah cikal bakal gerakan kelompok ekstrim yang bisa membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa. 

Dari kisah diatas mengutip pendapat Imam As Syafi’i dalam berkehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara idealnya kita mengambil sikap al ittifaq fil ittihad (Bersatu dalam kesamaan) dan jika hal tersebut tidak memungkinkan maka sikap yang harus diambil adalah al ikhtilaf fil ittihad (Bersatu dalam perbedaan).

Kemudian menurut Abu Hasan Al Asyari yang memicu adanya perbedaan adalah masalah politik bukan pada masalah keagamaan. Rasululloh S.A.W dahulu berdakwah untuk mengentaskan kemiskinan, menolong kaum mustadafiin, menumbuhkan nilai humanisme, dan menghancurkan model kolonialisme pada zaman itu yang disebut dengan Budak/perbudakan. 

Pada dasarnya perbedaan adalah hal yang tidak bisa dihindari bahkan mengenai terbentuknya aliran(firqoh) sudah lama di prediksi dimana Dalam hadist riwayat at Turmudi dijelaskan pada masa Yang akan datang akan teebagi 73 golongan. Maka perbedaan akan selalu ada jika menyangkut dengan kepentingan kekuasaan dan kepentingan pendapat(an), dan cara untuk memperkecil perbedaan itu adalah dengan memberikan pemerataan ekonomi atau dalam istilah ketatanegaraan kita sebut pemerataan kesejahteraan (welfare state).

Untuk itu marilah kita tanaman nilai-nilai Unity of Religion, mencari kesamaan dalam perbedaan selaras dengan ideology Pancasila Bhineka Tunggal Ika (berbeda beda namun satu jua) demi mewujudkan persatuan Indonesia dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia... Waallahu a'lam