trustnews.id

Klaster Sabbatical Leave Dalam dan Luar Negeri: Minoritas dalam Islam dan Studi Kawasan
Dok. Istimewa

Jakarta - Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia menyelenggarakan kegiatan Tadarus Litapdimas ke-22 pada Selasa, 29 September 2020. Adapun topik yang diangkat dalam tadarus kali ini, yakni menyoal klaster Sabbatical Leave dalam dan luar negeri dengan isu spesifik tentang “Minoritas dalam Islam dan Studi Kawasan”. Pembahasan ini akan dipaparkan oleh dua narasumber yakni Prof. Dr. Eka Srimulyani, MA., Ph.D dari UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, dan Prof. Dr. M. Noor Harisuddin, M.Fil.I dari IAIN Jember.

Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Dr. Suwendi, dalam sambutannya mengatakan pembahasan klaster Sabbatical Leave tentang isu minoritas menjadi penting untuk mengetahui relasi antara mayoritas dengan minoritas, maupun umat Islam dengan non Islam, atau sebaliknya umat Islam menjadi minoritas di tempat lain.

“Ini salah satu wujud konkrit kehadiran Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), dan kolaborasi kita semua untuk membangun Perguruan Tinggi ke arah lebih baik, pribadi dosen yang lebih baik, dan para dosen memiliki kapasitas akademik dan networking untuk terus menelurkan dan memberikan inspirasi bagi lainnya,” tutur Suwendi dalam webinar yang dipandu oleh Koordinator Sabbatical Leave Dalam Negeri, Dr. Abd. Basir, S.Pd.I, M.Pd.I.
 
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, S.T.P., M.T. memberikan apresiasi yang tinggi atas inisiatif Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis), khususnya Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat yang tetap konsisten menyelenggarakan kegiatan Tadarus Litapdimas secara rutin, yang kali ini memasuki episode ke-22.

“Tentu, atas inisiasi ini, saya mendorong kepada Saudara Direktur dan Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat atau biasa dikenal dengan Subdit Litapdimas, agar inovasi kegiatan semacam Tadarus Litapdimas ini tetap dilanggengkan, terlebih dalam situasi pandemi Covid-19,” ujar Muhammad Ali.

Dalam Pidato Kuncinya, Muhammad Ali mengungkapkan dirinya juga pernah menjadi salah satu peserta Sabbatical Leave dalam negeri di tahun 2019 lalu. Ia merasakan betul nilai kemanfaatan yang luar biasa dari program yang strategis ini seperti pengalaman dan berbagai tantangan inovatif dan produktivitas yang demikian tinggi. Saling sharing pengetahuan dan penguatan atas aspek kelembagaan perguruan tinggi, produktivitas pengetahuan, termasuk riset dan jurnal, serta mendiskusikan berbagai disiplin keilmuan secara nyata terjadi dalam program ini.

“Saya ingin menyatakan bahwa program Sabbatical Leave ini memang luar dan keren adanya. Bahkan, bisa jadi, atas keberkahan program sabbatical leave ini saya akhirnya diberi amanah sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam,” pujinya.

Dalam konteks penguatan moderasi beragama, Muhammad Ali menekankan pentingnya kelapangan hati, bahwa keharmonisan dalam kehidupan beragama bukan didasarkan atas relasi mayoritas dan minoritas dalam beragama, tetapi kemampuannya dalam mencari titik-titik persamaan dari nilai dan moral agama atau yang dalam Bahasa Alquran disebut dengan kalimatu sawa’. “Saya ingin mendorong kepada kita semua, untuk selalu taat terhadap ajaran agama yang kita yakini, dengan tetap memberi penghormatan kepada umat lain untuk menjalankan ajaran agamanya. Dengan cara inilah kehidupan beragama di lingkungan kita, sebagai sebuah bangsa Indonesia, akan tetap terjaga dengan baik,” imbuhnya.

Selanjutnya, Rektor IAIN Ternate Dr. Samlan Ahmad, M.Pd memberikan testimoninya bahwa terkait pengabdian masyarakat, ia menyebut tantangan bagi umat Islam, dengan tidak saling menyalahkan umat Islam. Berdasarkan data statistik sejak tahun 1950, ia mengungkapkan statistik umat Islam saat itu berada pada posisi 91 persen jumlah penduduk Indonesia. Sementara sekarang jumlahnya 73 persen dari populasi Indonesia.

“Semakin hari menurun. Ini adalah tanggungjawab kita semua sebagai akademisi, dimana letak kekurangan kita, apakah kita hanya berwacana pada ranah akademik saja, atau hanya hanya mengkombinasikan ranah akademik dan penelitian masyarakat, dalam lingkup kampus, kita tidak hanya berada pada pemikiran, maka kita jadikan kampus bukan hanya sebagai ranah akademik saja, tetapi bagaimana kita mendorong desa binaan misalnya kedepan menjadi jantung akademik yang wajib kita dirikan. Ini perlu ada sinergisitas dan kekompakan terutama PTKI, ini kekuatan kita,” tuturnya.

Prof. Dr. Eka Srimulyani, MA., Ph.D dalam paparannya menceritakan pengalamannya saat mengikuti program Sabbatical Leave di luar negeri, tepatnya di Korea. Disana, ia meneliti dan menganalisa berbagai perjalanannya mengelilingi hampir sebagian besar provinsi disana mulai dari fenomena sosial, politik, ekonomi di negeri Korea.

“Contohnya, perjalanan Sabbatical Leave orang Indonesia muslim yang minoritas tinggal di Korea. Saya melihat bagaimana orang Indonesia yang diaspora di Korea ini mencoba menjaga identitas agama dan budaya, di tahun 2016 saya sempat mengunjungi setengah dari semua provinsi di Korea. Misalnya masjid di Busan, Korea,” terang Eka Srimulyani dalam presentasinya.

Di Korea, ia menemukan sekelompok masyarakat yang tidak mengetahui tentang Islam dan Muslim. Mereka yang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam disebut sebagai Islamo Ignorance. Keberadaan minoritas di luar negeri, dikatakan Eka Srimulyani, seringkali mengalami penolakan dan dipandang rendah dari mayoritas. Pandangan Islamopobia ini terjadi akibat politik global dan media yang mempengaruhi cara pandang suatu kelompok masyarakat.

“Konsep minoritas ini sekelompok orang yang berbeda dari mayoritas, mulai dari segi bahasa, kekuatan politik, etnis, asal kebangsaan,” ujarnya.

Sedangkan narasumber kedua, Prof. Dr. M. Noor Harisuddin, M.Fil.I mengatakan dirinya mengikuti program Sabbatical Leave di dalam negeri. Hasil dari program tersebut yakni menyusun buku berjudul Fiqh Al Aqalliyat on Practicing of Moslem Minorities.

Terkait isi buku ini, Noor Harisuddin mengungkapkan ada kebutuhan Muslim dalam mempraktikkan nilai-nilai Islam secara teguh dengan identitas keislamananya. Namun di satu sisi, mereka menghadapi kendala dalam menjalani kehidupan. Misalnya di luar negeri, apabila mereka tidak ikut menggunakan sistem tersebut maka tidak bisa bekerja, sehingga ia mendorong agar para pengkaji peneliti di Indonesia melakukan penelitian Fiqh al Aqalliyat, hukum Fiqh yang berhubungan dengan kehidupan muammalah bagi Muslim yang hidup di luar negara Islam, apakah itu pekerja, atau mahasiswa yang menimba ilmu, atau para pelancong mancanegara.

“Problemnya adalah, mereka takut dengan Islam, mereka belum terintegrasi dengan komunitasnya masing-masing, kemudian adanya stereotipe dari media massa dan elektronik, lalu keterbatasan fasilitas di negara minoritas muslim itu, karena mereka hanya sekedar memberikan perlindungan saja, bukan fasilitas, seperti keterbatasan tempat shalat, ini penting kita lihat di negara yang minoritas muslim, ini menjadi problem mereka,” terang Noor Harisuddin.

“Kesulitan yang dihadapi Muslim minoritas tingkatannya adalah hajat bahkan darurat, di Taiwan saja, mereka tidak boleh beribadah, nah ini menjadi problem, untuk itu harus ada keringanan yang dilakukan untuk mereka dengan maqashid asy-syariah, ada urf shahih atau tradisi yang baik yang diafirmasi oleh Islam,” sambungnya.

Selanjutnya, Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad, Dip.SEA, M.Phil,PH.D dari UIN Sunan Ampel Surabaya mengatakan Profesor Exchange dan Sabbatical Leave sangat penting sekali kebermanfaatannya terutama bagi lingkungan PTKI.

“Ini kesempatan menarik dalam konteks yang pertama, Sabbatival Leave adalah penguatan akademic exchange dengan model plasma inti. Bisa jadi akademisi kita yang dikirim ke luar negeri, mereka menjadi plasma, misalnya perguruan tinggi di dalam negeri kita, ada sesuatu yang bisa dishare bagi civitas lainnya di lingkungan PTKI yang sifatnya lebih luas, baik itu berupa knowledge sharing atau academic exchange untuk penguatan internal dan kelembagaan bagi PTKI,” jelasnya.

Kedua, ia mengkritisi keberadaan karya akademisi Tanah Air yang kini tidak lagi menjadi rujukan pengetahuan bagi akademisi di luar negeri, khususnya kawasan Timur Tengah.

“Konteks kedua, yakni memperkuat academic expoution untuk menuju international recognition, dulu banyak ulama kita karyanya dijadikan rujukan di banyak kawasan seperti sosok figur Syekh Nawawi al-Bantany, dan lain-lain termasuk karya kecil yang kita miliki seperti amtsilah tasrifiyah, lalu karya al-Qodiriyah yang diproduksi ulama kita, dan sebagai rujukan beberapa kampus di Timur Tengah, akan tetapi sekarang justru kebalikannya, justru gagasan keilmuan Timur Tengah dikonsumsi PTKI,” ungkapnya.