Industri makanan dan minuman mengalami gap antara industri mesin, industri bahan baku dan pabrik makanan. Memilih praktis daripada mengolah sendiri dengan impor.
Dibalik makanan yang enak, ada peran mesin dan teknologi hebat dibelakangnya”. Pepatah lama yang kerap terlupakan saat menikmati wafer, biskuit, saus sambel, crackers atau aneka makanan ringan lainnya.
Dalam industri makanan dan minuman, keberadaan mereka disebut teknologi proses pengolahan makanan. Teknologi inilah yang membuat makanan ringan (snack) kapan pun, di mana pun dan jam berapa pun dinikmatinya cita rasanya selalu sama. Selain itu, tentu saja, keberadaannya mempercepat pro-ses suatu produksi dan meminimalisir kesalahan bila dilakukan secara manual oleh manusia.
Direktur Oremco Global Mandiri, Agus Nurul Iman, mengatakan, teknologi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses produksi. Bahkan, memiliki peran sangat penting dalam memenangkan persaingan pasar. Ini dikarenakan, keunggulan teknologi akan menghasilkan keunggulan dalam kualitas produk.
'Keunggulan teknologi tidak datang secara kebetulan, tetapi merupakan hasil dari penelitian dan pengembangan yang kemudian diterapkan," ujarnya Agus dalam percakapan dengan TrustNews.
Oremco, lanjutnya, telah melakukan penelitian dan pengembangan tekhnologi sistem produksi makanan dan minuman. Penerapan teknologi ini merupakan produk Oremco yang ditawarkan kepada pelanggan berupa alat dan mesin produksi. "Penerapan tekhnologi mesin tersebut berbentuk unit mesin atau full production line, yang akan menghasilkan berbagai produk makanan dengan banyak keunggulan," tegasnya.
Kehadiran Oremco, diakuinya, setelah melihat adanya gap di dalam industri makanan nasional. Masing-masing industri jalan sendiri, baik itu industri mesin, industri makanan dan industri bahan baku.
"Padahal kesemuanya industri itu berhubungan erat dengan yang namanya teknologi proses. Teknologi proses ini kerap dilupakan dengan memilih jalan pintas yakni menjadi tukang campur," ungkapnya.
"Tukang campur yang saya maksud begini, ambil contoh minuman sari buah. Lalu lihat komposisi bahan-bahannya. Ke-semuanya itu didatangkan import dari Brazil, China, India, dan lain-lain, sampai di pabrik semua bahan bahan tadi dicampur dengan air. Ini yang saya maksud, pabrik di Indonesia itu hanya menjadi tukang campur karena hanya bermodalkan air," paparnya.
Karena hanya melibatkan proses campur saja , lanjutnya, perusahaan mesin nasional jadi sulit untuk berkembang. Ini disebabkan, perusahaan pembuat makanan membeli mesinnya langsung dari luar negeri dalam bentuk jadi.
"Lebih ke sisi praktis saja baik itu rancangannya maupun jaminannya. Jarang perusahaan besar merancang dari nol sistem produksinya dan jarang bahan baku yang sumbernya banyak di Indonesia dipelajari, diriset dan dikembangkan lalu digunakan sebagai bahan baku ingredients di produknya" ungkapnya.
Dia pun membeberkan data, melihat komposisi penduduk, Indonesia tercatat 270,6 juta jiwa dan China 1,398 miliar jiwa. Namun, jumlah pabrikan makanan dan minuman, kedua negara jauh berbeda, Indonesia ada 6.000 perusahaan dan China sekitar 80.000-90.0000 perusahaan.
"80.000 pabrik tadi didukung 17.000 - 20.000 perusahaan yang memproduksi food ingredients sedangkan di Indonesia hanya sekitar 150-175 perusahaan food ingredients yang melayani 6.000 perusahaan. Perbandingannya 1:4. Kenapa ini saya kemukakan, sebab faktor inilah yang menyebabkan Indonesia selalu impor," tegasnya.
“Pada umumnya perusahaan makanan dan minuman datang kepada perusahaan trader atau importer untuk mencari bahan baku yang mereka butuhkan, contoh dalam pembuatan biscuit atau cake dibutuhkan tepung telur, tepung telur ini merupakan food ingredients kunci dalam proses pembuatan cake atau biscuit, dan Indonesia tepung telur ini impor!! Padahal berapa jumlah telur di negara kita, sangat banyak, maka dari itu dengan menguasai technology proses dan permesinannya, telur tersebut kita jadikan tepung telur dengan teknologi spray dryer”.
“Faktor lainnya muncul adalah perusahaan makanan dan minuman terutama swasta, tentu mempunyai riset dan pengembangan tersendiri yang tentu tidak dipublikasikan, maka dari itu keunggulan dan penguasaan technologi proses dan permesinan harus dikuasai oleh perusahaan-perusahaan pembuat permesinan dalam negeri, apabila ingin bersaing dan memberikan solusi kepada perusahaan pemakai atau pembeli mesin-mesin makanan dan minuman”
Agus Nurul Iman pun memberikan gambaran, perusahaan A punya proyek memproduksi teh segar dengan nilai Rp100 miliar. Untuk proyek ini dilakukanlah tender dengan termin pembayaran 10 persen dari nilai proyek. Dengan termin sebesar itu otomatis hanya perusahaan manufaktur tertentu saja usaha yang bisa ikut. Ini terkait nilai kapital yang sangat besar. "Seleksi alam berlaku, perusahaan kecil dan menengah butuh modal sangat besar. Kalau tidak ya tersingkir," tandasnya.
"Inilah problem bangsa yang sebenarnya yang harus dipecahkan bersama. Oremco mengkhususkan diri memproduksi permesinan untuk mengajak para investor mau mengolah bahan baku dari alam menjadi food ingredients.
Contoh kita dorong investor mau me-ngolah bahan baku alam yang banyak tersedia di Indonesia, contohnya cabe, jagung, coklat, singkong tebu dan lain-lain, untuk di olah menjadi chili paste, tepung jagung, coklat powder & liquid, food fiber, modified starch, caramel dan lain-lain agar lepas dari ketergantungan Import," pungkasnya. (TN)