
Pemkab Ciamis Merajut Ekonomi di Tengah Keterbatasan
TRUSTNEWS.ID - Di Kabupaten Ciamis, seperti juga banyak daerah lain di Indonesia, anggaran menjadi ujian sekaligus cermin. Dengan APBD Rp2,8 triliun, pemerintah daerah harus mengelola 1,3 juta jiwa, 27 kecamatan, 258 desa, tujuh kelurahan, dan 29 organisasi perangkat daerah (OPD). Di atas kertas, angka itu terdengar besar, tapi di lapangan, ia terasa pincang. Uang belanja pemerintah langsung mengalir ke nadi ekonomi lokal, terutama melalui gaji aparatur sipil negara yang mencapai Rp1,2 triliun setahun.
Bagi pedagang kaki lima dan warung kecil, ritme kehidupan ekonomi lokal mengikuti jadwal gajian aparatur sipil negara. Bahasa kerennya, follow the money.
“Tanggal 1 sampai 11, warung dan tukang makanan tutup lebih malam karena orang punya uang,” ujar Andang Firman Triyadi, Sekretaris Daerah, menggambarkan hubungan simbiosis yang terjadi kepada TrustNews.
"Di awal bulan, dagangan mereka laku keras, di pertengahan, mereka tutup lebih cepat,” ujarnya sambil tersenyum.
Kesenjangan itu memaksa adanya prioritas. Setiap tahun Ciamis menyusun rencana pembangunan jangka menengah dan tahunan, lalu memilah program yang dianggap penting. Kalender belanja diatur bulan demi bulan untuk menghindari kekosongan kas.
“Januari, Februari, apa kebutuhannya? Kapan proyek besar mulai dijalankan? Kami atur penyerapan dengan hati-hati,” kata Andang.
Tujuannya bukan hanya akuntabilitas, berupa evaluasi tiap tiga bulan menjaga kedisiplinan birokrat, tapi juga efisiensi, memastikan setiap rupiah memberi efek ekonomi sebesar mungkin. “Kami belajar disiplin. Mana yang harus lebih dulu dibelanjakan, kapan transfer masuk, dan kapan kegiatan bisa dijalankan. Dengan pola itu, serapan anggaran bisa tetap stabil," ujarnya.
Belanja daerah, lanjutnya, tak sekadar soal akuntabilitas. Lebih dari itu, uang yang dikeluarkan harus memberi efek berganda pada ekonomi lokal. Pertanian masih menjadi tulang punggung, disusul sektor jasa dan perdagangan.
"Ciamis ini salah satu eksportir ayam terbesar. Walaupun ada tantangan integrator besar, kami tetap dorong pertanian, UMKM, dan jasa agar menjadi sumber pertumbuhan baru,” ungkapnya.
UMKM, misalnya, didukung dalam bentuk pelatihan kemasan dan akses pasar. Dunia kerja juga dipersiapkan lewat sinergi dengan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Barat. "Harapannya, perputaran ekonomi tidak hanya bergantung pada belanja pegawai, melainkan juga dari kemandirian masyarakat," jelasnya.
Andang menyebut 2026 bukan sekadar angka tahun, melainkan daftar panjang pekerjaan rumah. Pemerintah pusat menargetkan swasembada pangan, dan Ciamis memilih sektor pertanian sebagai ujung tombak.
“Infrastruktur jalan kami sudah mantap lebih dari 90 persen, dengan panjang 1.098,13 kilometer. Jadi kini fokusnya ke pertanian sehat, termasuk pertanian organik,” ujarnya.
Sektor pangan itu akan dipadukan dengan program nasional, Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat. Skemanya sederhana: petani menjadi pemasok, MBG menyerap hasilnya, dan koperasi menjadi jembatan distribusi. “Jadi masyarakat tahu berasnya dari mana, ayamnya dari siapa. Semua kembali ke petani lokal," ujarnya.
Isu stunting, yang kini turun ke 12 persen, menjadi beban lain. Targetnya nol pada 2026. “Kami ingin Ciamis nol stunting. Sudah ada pengalaman lima tahun terakhir, jadi percepatan penanganan bisa dilakukan,” katanya.
Di sisi lain, rata-rata lama sekolah yang baru mencapai 8,1 tahun (setara kelas dua SMP) menjadi cermin ketimpangan pendidikan. "Kami dorong peningkatan akses dan kualitas pendidikan,” ujarnya.
Ciamis juga berupaya menata ulang denyut ekonomi lokal. Program bantuan rumah untuk warga berpenghasilan rendah dan revitalisasi pasar rakyat dengan pola kemitraan keuangan menjadi andalan. “Pasar yang nyaman akan menghidupkan transaksi. Tidak bau, tidak becek, orang jadi betah belanja,” ungkapnya.
Bagi Andang, anggaran bukan hanya soal angka, melainkan soal kepercayaan dan ketepatan. Setiap isu besar, seperti stunting, kemiskinan ekstrem, hingga pengangguran ditangani secara "keroyokan". Evaluasi dilakukan tiap tiga bulan untuk memastikan setiap rupiah tersalurkan sesuai rencana.
“Efisiensi bukan berarti mengurangi hal penting. Tidak ada yang penting dan tidak penting, semua harus proporsional,” jelasnya.
Ciamis punya mimpi besar, yakni menjadi pusat produksi dan pengolahan padi dan ayam. Untuk itu Andang menegaskan perlunya kolaborasi yang selaras antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten.
"Kalau Ciamis dapat transfer anggaran, pertanggungjawabannya jelas. Berapa juta ekor ayam, berapa ton padi organik. Targetnya harus konkret,” ujarnya.
“Dengan kolaborasi, keterbatasan bisa diandalkan,” pungkasnya. (TN)