trustnews.id

Meski Menggiurkan,  Dracaena Terkendala Lahan
Ketua Asosiasi Flori Kabupaten Sukabumi, Anas Anis (baju biru) mendampingi Mentan Amran Sulaiman saat berkunjung ke Kelompok Tani Alamanda

Meski Menggiurkan, Dracaena Terkendala Lahan

BISNIS Minggu, 05 Mei 2019 - 06:26 WIB TN

Negara Belanda mensyaratkan ketersediaan lahan seluas 10 hektar sebagai jaminan kontinuitas pengiriman. Sempat bangkrut sisakan sandal jepit.

Tak ada istilah menyerah dalam kamus hidup Anas Anis. Dua kali bangkrut “dikerjain” rekan bisnis asal negara tetangga, tidak membuat lelaki kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, ini beralih profesi. Tetap ‘saklek’ untuk terus berbisnis tanaman dracaena.
“Hanya tinggal sandal jepit,” ujarnya tertawa mengingat masa-masa awal merintis bisnis tanaman dracaena 1998 lalu.
Kini, 21 tahun kemudian, Anas yang bersendal jepit menikmati hasilnya. Tidak dirinya seorang, tapi juga masyarakat sekitar. Bayangkan saja, menurut pengakuan Anas, pihaknya hanya mampu memenuhi 10% permintaan pasar global atau 100 ribu pohon per tahun senilai Rp3 miliar untuk jenis global kaktus cyclops. 
Sedangkan untuk jenis hanjuang kemoceng (Dracaena Compacta) baru mampu mengekspor 15 kontainer per tahun. Tiap kontainer memuat sekira 2.000 batang dan harganya Rp15 ribu per ikat.
"Tanaman-tanaman hias tersebut, diekspor ke sejumlah negara di Asia. Korea, Malaysia, Singapura, Bahrain, Oman, India, dan Arab Saudi serta beberapa negara Eropa,” ujar Anas yang didaulat menjadi Ketua Asosiasi Flori Kabupaten Sukabumi.
Sebagai info, ekspor ke Oman sebanyak 21 boks senilai Rp25 juta dan India sebanyak 1.000 boks (35 ribu batang) dengan nilai sekitar Rp350 juta.
Untuk saat ini, ujarnya, jenis lucky bamboo (Dracaena Sanderiana) tengah menjadi primadona di sejumlah negara. Karena tiap negara punya selera yang berbeda, untuk memenuhi permintaan pasar, melalui Kelompok Tani (Poktan) Alamanda, memiliki lebih dari 90 desain lucky bamboo. Misalnya, Malaysia, Singapura, dan Korea, lebih tertarik dengan model pagoda. Sedangkan Oman, cenderung olimpik. 
“Volume ekspor (model) pagoda sekitar 150 ribu pieces per tahun. Model lain 140-150 ribu pieces per tahun. Nilainya Rp6 miliar per tahun,” ungkap Anas.
Meski memiliki peluang besar, namun lanjut Anas, ada kendala yang sampai saat ini terus diperjuangkannya yakni lahan. Selama ini ketersediaan bahan baku didapatnya dari pembudidayaan yang hanya bisa memenuhi 10% dari kebutuhan, sedangkan sisanya didapat dari hasil mengumpulkan dari warga masyarakat yang menjadikan tanaman suji sebagai pagar pembatas rumah.
“Secara bisnis dan kontinuitas pasokan bahan baku boleh dibilang lancar, namun bila bicara industri global jauh memenuhi persyaratan. Misalnya pembeli dari Belanda mewajibkan ketersediaan lahan seluas 10 hektar sebagai jaminan kontinuitas pengiriman, permintaan ini belum bisa kami penuhi hingga diambil kompetitor dari negara lain,” ujarnya. 
Menanggapi keluhan soal keterbatasan lahan tersebut, Direktur Jenderal Hortikultura kementerian Pertanian (Kementan) Suwandi, menyebutkan pihaknya bersama Pemerintah Daerah Sukabumi akan mengembangkan kawasan dracaena dengan memanfaatkan lahan milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII.
“Kami sudah melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait, tinggal koordinasi dengan pihak kabupaten yang punya kewenangan lahan. Kalau masalah lahan ini cepat teratasi, Kelompok Tani Alamanda bisa memenuhi persyaratan yang dimintakan dan ekspor ke Belanda,” ujar Suwandi.  
Terkait perizinan ekspor, lanjut Suwandi, sudah mengeluarkan kebijakan dengan memangkas lamanya waktu perizinan ekspor untuk benih hortikultura.
“Kita pangkas dengan menggunakan sistem online hanya 3 jam langsung keluar izin ekspornya selama dokumen yang dipersyaratkan clear and clean. Tidak seperti dulu membutuhkan waktu 3 bulan, sekarang hanya 3 jam dan gratis,” pungkasnya.(TN)