Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia telah mengumumkan secara terbuka hasil pemeriksaan atas laporan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) Rabu (21/7). Hasilnya, Ombudsman mendesak pimpinan KPK melantik 75 pegawai yang tidak lulus TWK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebelum tanggal 30 Oktober 2021.
Menanggapi hal itu, Peneliti Lembaga Studi Anti Korupsi (L-SAK) Ahmad Aron H menilai laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman RI (LAHP ORI) yang tengah ramai diperbincangkan dalam hal polemik TWK, bukanlah satu-satunya pembenaran. Sebab saat ini, publik menerima dua kesimpulan yang berbeda yang harus disikapi secara arif dan bijak.
"Membaca seksama LAHP ORI pun kita melihat tidak adanya singkronitas,"kata Ahmad Aron melalui keterangan tertulis yang diterima. Senin (26/7).
Menurut Aron, temuan LAHP ORI hanya berdasar pada laporan pelapor. Sementara saat ini publik menerima pendapat yg berbeda terkait proses, pelaksanaan, dan hasil TWK.
"Maka jelas ada hal yg tidak komprehensif dalam hal ini, dan LAHP ORI tidak serta merta dijadikan satu-satunya acuan dan pembenaran," imbuhnya.
"Begitu juga pada tindakan saran dan koreksi yang tidak nyambung berdasarkan pada temuannya sendiri. Sebab Saran dan koreksi lahp ori yang merekomendasikan 75 pegawai KPK TMS dimasukan menjadi ASN adalah upaya memaksakan produk administrasi untuk mengalah produk hukum di atasnya, PP dan UU," sambungnya.
Terlebih lagi, lanjut Aron saran dan koreksi LAHP ORI berupaya mengembangkan opini publik dengan menarik-narik presiden, tetapi telah lebih dahulu melakukan justifikasi antar lembaga negara lainnya. Ini aneh, kenapa lembaga negara menghakimi lembaga-lembaga lainnya.
"Bilalah ORI kemarin menyatakan adanya maladministrasi dalam TWK, melihat hal-hal seperti ini, pun wajar publik menyatakan ombudsman mallogika," pungkasnya.
"Persoalan harus clear dan segera diselesaikan. Jangan sampai dipolitisasi oleh perselingkuhan kelompok-kelompok tertentu," Tutupnya.