Merosotnya omset penjualan menjadi keluhan utama para pelaku UMKM. BRI hadir memberikan solusi dengan menciptakan pasar melalui digital marketing.
Posisi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam perekonomian Jawa Tengah sangat penting dan strategis. Dengan jumlah pelaku usaha mencapai 4,2 juta unit. Sejak diumumkan pada awal Maret 2020, kasus pertama Covid19 di Indonesia, kegiatan ekonomi baik produksi maupun permintaan melambat atau bahkan berhenti bersamaan.
Semua sektor usaha mengalami dampak yang sama, tidak peduli skala besar, menengah, kecil dan mikro. Hal ini diungkapkan oleh Pimpinan Kantor Wilayah (Kanwil) BRI Semarang, Wahyu Sulistiyono.
Khusus UMKM Jateng, Wahyu memberikan gambaran, berdasarkan pemetaan yang dilakukan, 51 persen persoalan utama yang dihadapi para pelaku UMKM adalah pasar. Baru kemudian masalah permodalan sebesar 20 persen dan sisanya baru berbagai masalah, seperti bahan baku.
"Berdasarkan pemetaan tersebut, kita di BRI Jawa Tengah bisa menyimpulkan kalau kita mau memutus mata rantai kendala UMKM itu dari sisi pasarnya terlebih dahulu. Baru kemudian permodalan. Kalau kedua ini bisa diatasi, saya yakin UMKM di Jateng akan recovery," ujar Wahyu Sulistiyono kepada TrustNews.
Sebagai informasi jumlah sektor usaha di Jawa Tengah saat ini tercatat mencapai 4,1 juta unit, terdiri dari usaha mikro 3.776.843 (90,48%), kecil 354.884 (8,50%), menengah 39.125 (0,94%) dan besar 3.358 (0,08%). Statistik ini jelas menunjukkan bahwa usaha mikro-lah yang paling dominan, atau usaha dengan kekayaan bersih tidak lebih dari Rp 50 juta dan omset penjualan tahunan maksimal Rp 300 juta, menurut definisi UU 20/2008 tentang UMKM.
Setelah memetakan persoalan, lanjut Wahyu, BRI Jawa Tengah fokus memperbaiki pasar UMKM, baik yang sifatnya tradisional maupun digital. Untuk pasar tradisional, BRI melakukan revitalisasi sehingga meski dalam kondisi pandemi dan kebijakan pemerintah terkait social distancing maupun PPKM, pasar tradisional bisa tetap eksis karena konsumennya tetap bisa akses ke pasar.
"Revitalisasi pasar yang dimaksud yakni BRI memfasilitasi para pedagang pasar melalui website pasar.id. di platform daring ini seluruh pedagang pasar di Indonesia melakukan aktivitas jual beli secara daring," ujarnya.
Penjual dan pembeli tidak perlu bertemu langsung di lokasi pasar tradisional tempat pedagang berjualan, melainkan dapat dijangkau secara virtual oleh pembeli melalui domain web pasar.id.
“Di website ini isinya pasar-pasar tradisional, termasuk semua pasar yang ada di wilayah Jateng. Termasuk kios-kiosnya juga ada," tambahnya.
Karena menerapkan pemesanan secara online, lanjutnya, otomatis pembayarannya dilakukan dengan metode transfer internet banking BRI, sehingga tidak perlu pem- bayaran secara tunai (cashless). Setelah membeli dan membayar barang belanjaan di pasar.id, si pembeli tinggal menunggu kurir yang akan meng-antarkan barang ke rumah.
“Kita juga pasang barcode QRIS di setiap pasar untuk mendukung pembayaran nontunai tersebut. Walaupun awalnya sedikit ada kendala, karena pedagang pasar masih asing dan belum terbiasa dengan pola dagang seperti itu. Untuk mengubah perilaku kita lakukan pendekatan secara persuasif," ujarnya mengingat masa awal penerapan pasar.id.
Jadi kita lakukan banyak acara-acara yang sifatnya seremonial. Tujuannya untuk melakukan sosialisasi dan edukasi terlebih dahulu kepada masyarakat. Supaya mengenal apa itu Qris, apa keunggulan Qris dan bagaimana mekanisme Qris," ungkapnya.
Selain merevitalisasi pasar, lanjutnya, untuk menampung dan mendorong UMKM binaan BRI agar naik kelas menjadi technopreneurs. BRI memiliki marketplace bernama Indonesia Mall.
"Dengan menggunakan Indonesia Mall, nantinya UMKM binaan BRI khususnya di Jateng cukup mengunggah produk mereka satu kali dan dapat menjangkau pasar yang jauh lebih luas. Sehingga meningkatkan jangkauan penjualan produk mereka,” ujarnya.
Baginya, apa yang BRI lakukan terkait dengan pasar sebagai upaya menciptakan permintaan (demand) masyarakat dalam kondisi pandemi, terutama saat pemerintah menerapkan PSBB dan PPKM. Kebijakan berdiam diri di rumah (bekerja dan belajar dari rumah) berdampak pada turunnya daya beli pada kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier.
"BRI yang dekat dengan kehidupan masyarakat berupaya mencari jalan keluar. Seperti bagaimana mengatasi masalah pasarnya UMKM itu menjadi prioritas untuk kita selesaikan," ungkapnya.
Setelah masalah penciptaan pasar, lanjutnya, baru kepersoalan berikutnya yakni permodalan. Untuk masalah permodalan, BRI memiliki skema yang komplit. Mulai dari super mikro, ultra mikro, mikro, ritel menengah baik yang berbasis subsidi maupun komersial.
"Masalah permodalan bukan sesuatu yang besar. Sepanjang memenuhi ketentuan perbankan dan layak untuk dibiayai tentu akan diberikan permodalan hanya saja, kalau masalah pasar dan pemasa- rannya tidak diselesaikan maka masalah permodalan akan terkena getahnya," pungkasnya. (TN)