TRUSTNEWS.ID,. - Indonesia menjadi bagian yang berkomitmen pada pengendalian perubahan iklim secara global. Ini ditunjukkan Indonesia dengan meratifikasi Perjanjian Paris melalui Undang-Undang No. 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan, melalui UU No 16/2016, Indonesia menyatakan diri untuk berkomitmen pada upaya global dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Harus turunkan agar suhu rata rata permukaan bumi tidak naik lebih dari 2 derajat celcius, atau bisa dikendalikan tidak lebih dari 1,5 derajat celcius," ujar Laksmi Dhewanthi menjawab TrustNews.
Adapun bagaimana cara menurunkan emisi, lanjutnya, setiap negara harus berkontribusi dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dituangkan dalam dokumen Kontribusi Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC).
"Saat ini NDC sudah kita naikkan targetnya dari target 2016. Kita sudah sampaikan Enhanced (E-NDC) menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 43,20 persen (jika mendapat bantuan internasional) pada tahun 2020. Penetapan target ini meningkat dari yang sebelumnya 29 persen dan 41 persen," jelasnya.
Lebih jauh dijelaskannya, untuk mencapai target tersebut ada 5 sektor penyumbang terbesar pengurangan emisi, yakni energi, industri, kehutanan, pertanian dan limbah dengan sektor kehutanan.
"KLHK mengampu dua sektor yaitu kehutanan dan limbah. Kehutanan merupakan salah satu terbesar yang menyumbangkan gas rumah kaca dan berpotensi menurunkan rumah kaca. Kemudian, energi. Keduanya mendominasi lebih dari 28 persen," ujarnya.
Dirinya pun mengungkap, Ditjen PPI yang diamanatkan sebagai National Focal Point (NFP) to the UNFCCC telah melakukan inventaris dari 2010 hingga sekarang menunjukan bahwa kontribusi emisi gas rumah kaca yang terbesar diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan atau Karhutlah.
Untuk mengatasi Karhutlah, lanjutnya, Ditjen PPI memiliki program FOLU Net Sink 2030, sektor kehutanan hendak menurunkan emisi sebanyak 17,4 persen dalam skenario memangkas gas rumah kaca 29 persen dari 2,87 miliar ton setara CO2. Salah satu cara mencapainya adalah dengan mencegah kebakaran hutan dan lahan.
FOLU adalah forestry and land use. Sementara net sink adalah emisi negatif. FOLU net sink 2030 artinya sektor kehutan dan penggunaan lahan akan menyerap emisi lebih banyak dari yang dilepaskannya.
"Upaya yang dilakukan adalah pengendalian Karhutlah. Beberapa tahun terakhir, kita sudah berhasil menurunkan tingkat atau kejadian kebakaran hutan dan luasan hutan yang terbakar. Sehingga saat ini sudah jauh menurun," ujarnya.
"Kita juga lakukan upaya restorasi atau rehabilitasi hutan mangrove dan lahan gambut. Karena gambut ekosistem yang bisa menyimpan karbon, dengan menjaga tingkat muka air. Selain itu, ada praktek pengelolaan hutan lestari, konservasi, perlindungan daerah atau Kawasan lindung, dan semuanya diharapkan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca," paparnya.
Diingatkannya, apa yang telah dilakukan dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca merupakan komitmen Indonesia. Meski Indonesia bukan merupakan negara kelompok “Annex I” maupun “AnnexII” sehingga tidak wajib menurunkan emisi gas rumah kaca.
Tetapi sebagai negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaporkan jumlah emisi yang dihasilkan dan turut membantu negara maju dalam menurunkan emisi melalui mekanisme CDM (Clean Development Mechanism).
"Di era Presiden Joko Widodo penanganan ini diperkuat melalui Inpres dimana masyarakat dan stakeholder bertanggung jawab. Kita kan masih dalam menuju puncak pembangunan, dimana kegiatan ini memiliki emisi. Jadi perubahan harus selaras dengan pembangunan berkelanjutan (aspek lingkungan terpenuhi, sosial terjaga, dan ekonomi tercapai)," pungkasnya.