Bak bunyi pantun, "Ada Sawit dibilang deforestasi. Lahan menyusut berganti properti. Hilirisasi kembangkan potensi. Kurangi emisi karbon bikin wajah negeri kembali berseri".
Begitulah gambaran kondisi dunia perkebunanan di tanah air yang tak lepas dari isu klasik, mulai dari pengurangan lahan hutan (deforestasi) hingga menyusut luas areal perkebunan yang disinyalir berganti infrastruktur hingga properti.
Padahal negeri ini dijuluki 'Seven Economic Wonders of Worried World' (Tujuh Keajaiban Ekonomi Dunia). Indonesia dan enam negara lainnya dianggap sebagai survivor dari krisis global lantaran Covid-19 serta dampak konflik di Eropa Timur.
Kemampuan bertahan di tengah krisis global ini karena Indonesia berhasil mengelola kekuatan sumber daya (alam dan manusia). Populasi 276 juta orang diolah jadi pasar yang sangat ‘resilient’ sehingga menyebabkan ekonomi domestik mampu jadi pengimbang ekonomi ekspor.
Secara khusus, perkebunan, sebagai salah satu subsektor yang memberikan kontribusi pada produk domestik bruto (PDB) pertanian hingga 27 persen. Dimana sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 12,98 persen.
Tidaklah aneh, jika dalam perkembangannya pemerintah berupaya mengoptimalkan subsektor perkebunan melalui berbagai langkah agar dapat mendorong kinerja pertanian yang berdampak pada perekonomian nasional.
Salah satu langkah yang kini telah ditempuh Pemerintah yakni melalui hilirisasi yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas.
Dalam pandangan Delima Hasri Azahari, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI), pihaknya selalu mendorong semua pihak, khususnya industri perkebunan, untuk berpegang teguh pada konsep bisnis berkelanjutan (sustainability business) dengan memberikan perlindungan kepada manusia, lingkungan dan ekonomi.
"Kami bekerja dalam prinsip 3P yakni People (manusia), Planet (lingkungan) dan Provit (ekonomi). Kita berikan masukan untuk kebijakan di sektor perkebunan, jadi mitra dari Ditjen Perkebunan dan bermitra dengan LSM/NGO yang punya visi sama," ujar Delima Hasri Azahari dalam wawancara dengan TrustNews.
"Kami juga melakukan pengamatan dan diskusi yang berkaitan dengan partisipasi sektor perkebunan dalam mendukung ketahanan nasional," tambahnya.
Delima yang juga tercatat sebagai Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ini memberi contoh GPPI sebagai mitra Ditjen Perkebunan yakni membangun visi mengurangi keberadaan bibit dan pupuk ilegal.
"Kami dorong anggota GPPI hanya membeli bibit dan pupuk dari kios yang direkomendasikan Ditjen Perkebunan. Kami kenalkan kepada para petani agar mereka familiar pada sisi digitalisasi, manfaatkan aplikasi, teknologi komunikasi, dan pemanfaatan mendeteksi arah angin, sinar matahari dan sebagainya," ungkapnya.
Ditegaskannya, kemitraan yang terjalin bukan hanya di wilayah hulu saja, tapi juga di wilayah hilir terkait dengan penerapan teknologi dalam mengelola hasil perkebunan. Kepada petani kopi bagaimana menghasilkan mutu kopi yang baik yang sesuai SNI. Mulai dari panen, sortasi buah, pengupasan kulit buah merah, fermentasi, pencucian, pengeringan, pengupasan kulit kopi HS, sortasi biji kering, pengemasan hingga sampai ke masalah penggudangan.
"Begitu juga dengan industri karet tidak hanya pada serbuk karet (crumb rubber), lateks pekat, dan karet lembaran asap (ribbed smoked sheet) tapi bagaimana karet bisa diolah menjadi produk yang bernilai tinggi," ungkapnya.
Delima juga mengungkapkan, bagaimana rangkaian acaranya di India, 30 Juli - 3 Agustus 2023, yang salah satunya berkunjung ke perkebunan teh Darjeeling. Dari kunjungan tersebut, dirinya melihat bagaimana harmonisasi bisnis perkebunan teh - salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO dengan pengelolaan pariwisata.
"Saya melihat bagaimana pemerintah India menjadikan perkebunan Darjeeling sebagai kawasan pariwisata kelas dunia dengan mempertahankan keotentikannya," ujarnya.
"Tidak kemudian menyulap perkebunan teh menjadi kawasan pariwisata dengan membangun villa-villa dan infrastruktur jalan agar mudah dikunjungi wisatawan. Secara hitung-hitungan bisnis tentu menguntungkan, namun jauh lebih menguntungkan bila tetap menjadi kawasan perkebunan teh," paparnya.
"Kami menyuarakan kepada pemerintah bahwa fungsi kebun teh bukan hanya perkebunan Tapi menjaga kelestarian alam, penyangga longsor dan lain-lain," pungkasnya.