Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak Tahun 2014 sampai dengan bulan Juli Tahun 2019 semakin BURUK, dan malah banyak BUMN didera skandal laporan keuangan yang direkayasa. Utang BUMN pun semakin membesar, sebagai contoh utang 2 (dua) BUMN Indonesia yang termasuk berkinerja baik selama ini, yaitu Pertamina dan PLN mencapai Rp 522 Triliun.
Permasalahan krusial lain terkait dengan kinerja BUMN yang semakin memburuk adalah soal seleksi, rekrutmen dan penempatan para Direksi dan Komisaris yang tidak saja bukan ahlinya, melainkan tidak profesional serta pada posisi dan tempat yang salah (the wrong man and the wrong place). Apalagi, dalam banyak penempatan Direksi dan Komisaris BUMN tersebut ditengarai penuh dengan unsur nepotisme.
Sesungguhnya, diluar kasus-kasus memalukan tersebut, BUMN masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan beban masa lalu. Bila saja pekerjaan rumah masa lalu ini dilakukan sejak awal pemerintahan tentu eford nya akan lebih baik. Mungkin, masalahnya adalah kementrian BUMN tidak fokus menyelesaikan permasalahan utamanya yang prioritas terhadap beban BUMN.
Padahal, mengacu Pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian yang disusun usaha bersama itu turunannya adalah BUMN harus sinergis di dalam membangun perekonomian bangsa. Kenyataannya, selama reformasi, BUMN bekerja secara sendiri.
Ditambah lagi, BUMN dibebani oleh UU Perseroan Terbatas No. 40 yang mengharuskan BUMN mengejar/berorientasi profit/profit oriented. Kalau melihat secara keseluruhan, tidak fair juga menilai BUMN kinerjanya buruk. tetapi dampak keburukan kinerja BUMN saat ini, sangat mungkin diakibatkan oleh pengelolahan BUMN yang terjadi di masa lalu.
Kalau kemudian adanya peningkatan aset dan lain sebagainya ini mudah untuk melakukannya, dengan meningatkan evaluasinya. kalau memperoleh namanya tambahan modal bisa menjual menawarkan global bond. ini yang terjadi pada BUMN-BUMN di masa lalu. Sehingga jajaran direksi saat ini memiliki beban yang cukup berat untuk memompa kinerja BUMN. Apalagi di tengah melambatnya perekonomian dunia dan stagnannya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju.
Otomatis perlu upaya-upaya agar BUMN tetap eksis, tidak pada posisi kinerja uneasy. Tetapi perlu reorientasi BUMN yang sesuai konstitusi Pasal 33. Apakah BUMN sudah on the track berdasarkan pasal 33 UUD 45 apa belum, karena hampir sebagian BUMN yang strategis sebagian besar sahamnya dimiliki swasta atau asing dan ada di pasar bursa.
Sebagaimana diketahui, Pasar bursa itu uncotrollebel, orang akan mencari untung di sana. Tidak ada orang yang mau berkorban untuk membesarkan BUMN. Hitung-hitungnya, kalau itu tidak untung, saya tarik modal untuk menghindari kerugian (capital loss). Dalam posisi capital loss yang rugi adalah BUMN.
Dalam kondisi apapun, BUMN itu harus dimiliki oleh negara. Dikuasai itu tidak berarti sebagian sahamnya diberikan ke asing. Apalagi untuk BUMN-BUMN yang bersifat strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, BUMN itu 100% dikuasai oleh negara dan tidak dibenarkan sahamnya di jual ke pasar bursa melalui Initial Public Offering (IPO). Mengapa, sangat rentan dijadikan permainan capital loss dan capital gain oleh para pemegang saham.
Salah satu kondisi yang dialami BUMN saat ini merupakan efek dari penerbitan Global Bond pada masa lalu. Itu terjadi pada PT Garuda Indonesia, Pertamina dan PLN yang memiliki global bond. Termasuk sejumlah BUMN yang melepas sahamnya di pasar bursa.
Sebagaimana diketahui, latar belakang pemikiran meng-IPO-kan BUMN adalah untuk membuat BUMN menjadi berkinerja baik. tetapi ketika membuat perbandingkan kinerja antara Garuda Indonesia dengan Pertamina, sangat jauh panggang dari api.
Itu dibuktikan kinerja Pertamina yang tidak IPO jauh lebih baik daripada Garuda Indonesia. Padahal Pertamina hanya diberikan PSO (Public Services Obligation) yang harganya dikendalikan oleh pemerintah.
Sementara, Garuda Indonesia bisa menaikan harga tiketnya berdasarkan ruang batas atas dan batas bawah yang ditetapkan oleh kementerian perhubungan. Jadi apa artinya meng-IPO-kan BUMN, kalau kemudian yang tidak IPO berkinerja lebih sehat dibandingkan yang di-IPO-kan.
Permasalahan Mendasar BUMN
Ketika berbicara soal kinerja BUMN. Kita baru melangakah case by case. Padahal di balik semua itu ada masalah yang jauh lebih pelik, yakni undang-undang tidak mendukung perangkat BUMN secara sektoral itu bekerja secara efektif dan efisien.
Undang-Undang BUMN dan Undang-Undang sektoral lain seperti UU energi, UU Minerba dan UU PMA, keberadaannya membuat kinerja BUMN tidak optimal. Dan mungkin, memporakporandakan BUMN yang saat ini dalam posisi yang sangat sulit transisinya.
Sebagai BUMN, berdasarkan UU No. 19 tahun 2003, diberikan tugas PSO. Namun di lain sisi, BUMN yang berbentuk PT diminta mengejar profit. Dua tugas ini tidak ringan. itu bedanya dengan swasta. Pertama, tidak diberikan beban PSO dan kedua, labanya itu murni untuk pemegang saham. Sedangkan BUMN harus dibagi kepada pemerintah terus kemudian dibagi lagi ke pemegang saham, kalau di BUMN itu ada saham pihak ketiga swasta atau asing.
Itulah problem terbesar yang terjadi pada BUMN. Sehingga dibutuhkan UU yang membuat gerakan operasional BUMN itu secara hukum dapat dipayungi oleh kebijakan negara. Untuk menjawab persoalan ini, perlu adanya revisi UU No 19 tahun 2003 yang sudah lebih dari 15 tahun harus segera dirampungkan. Termasuk juga keberadaan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang memisahkan antara kekayaan BUMN dengan kekayaan negara.
Revisi diperlukan, karena bukan saja sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini, lebih dari itu, telah bertentangan dengan konstitusi bahwa penguasaan negara itu adalah mutlak 100 persen. artinya untuk cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Begitu juga pijakannya, UU sektoral jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga pasal demi pasal yang ada dalam UU sektoral yang bertentangan dengan pasal 33 di judicial review dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Jalan Keluar
Langkah pertama untuk melakukan konsolidasi dan koordinasi BUMN, terutama yang strategis, harus dirumuskan terlebih dahulu Apa yang dimaksud dengan cabang-cabang produksi yang penting?. Apa kriteria hingga disebut cabang-cabang produksi yang penting?". Sektor apa saja yang masuk dalam kriteria cabang-cabang produksi yang penting?.
Hal itu menjadi penting, agar arti cabang-cabang produksi yang penting tidak multi tafsir. Kalau dalam pembuatan UU sektoral itu merujuk pada UU Sistem Ekonomi Nasional. Maka secara jelas dan tegas tidak boleh diberikan kepada swasta, tapi dikuasai sepenuhnya oleh negara.
Kalaupun dibagikan kepada swasta, dapat dengan jelas diketahui, bagian mana dari cabang-cabang produksi yang penting itu yang boleh dijual sahamnya melalui IPO. Ini juga memberikan ketenangan dan kejelasan bagi para direksi BUMN dalam mengambil keputusan aksi korporasi.
Ketidakjelasan itu menjadikan jajaran direksi dan komisaris BUMN setahun belakangan terkena kasus saat melakukan aksi korporasi. Jajaran direksi mendapat mandat untuk mengembangkan bisnisnya dalam mengejar profit, namun pada saat yang bersamaan dinyatakan bersalah atas aksi korporasi yang dilakukan (baca: tidak korupsi).
Sejumlah persoalan itu menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan DPR. Bila tidak secepatnya dilakukan pembenahan, bangsa ini akan mengulang kembali proses sejarah kolonialisme dengan membiarkan perekonomian menjadi super liberal dan UU yang tidak nyambung satu sama lainnya.
Supaya dapat berkinerja dengan baik dan produktif mencapai tujuannya, maka Pemerintah dan DPR juga harus memperhatikan aspek-aspek: Availability, Accessability, Affordability, Acceptability, Sustainability yang diakomodasi dalam pasal-pasal revisi UU tentang BUMN sebagai manifestasi pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi kita. Membiarkan pucuk pimpinan BUMN dalam posisi jabatan yang tidak definitif atau berstatus Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama dalam jangka waktu berbulan-bulan dan berulangkali dilakukan jelas akan mengganggu soliditas manajemen yang akhirnya memperburuk kinerja BUMN.
Sementara itu, pasal krusial lainnya dalam penyelesaian revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menimbulkan masih adanya ruang atau celah munculnya kepentingan tertentu dan juga terdapat konflik atas konstitusi pasal 33 UUD 1945, yaitu pada Pasal14 yang mengatur soal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pasal ini selain sangat otoriter di tangan Menteri BUMN, maka aspirasi karyawan yang telah mengabdi dalam jangka waktu lama pada BUMN juga belum terwakili. Alih-alih, masih terdapat sebutan kuasa subtitusi yang alasan eksistensinya tak berdasar serta tugas pokok dan fungsinya tak dijelaskan secara eksplisit sehingga dapat mengganggu mekanisme dan mendelegitimasi forum RUPS harus dihapuskan.
Yang paling rasional dan konstitusional adalah ruang RUPS harus lebih diperluas dengan memasukkan unsur-unsur pemangku kepentingan
(stakeholders) lain di dalam materi revisi UU BUMN tersebut sehingga Presiden juga aman secara optimal dari ketidaktransparan dalam memilih dan menunjuk Direksi BUMN strategis, khususnya Pertamina. Lebih logis dan konstitusional lagi dalam perspektif Usaha Bersama yang dinyatakan ayat 1 pasal 33 UUD 1945 dalam konteks BUMN, maka RUPS diganti istilahnya menjadi Rapat Umum Pemangku Kepentingan (RUPK) karena dana BUMN bukan dari saham orang per orang atau badan usaha tertentu sebagaimana korporasi swasta.
Publik mengharapkan sekali supaya Presiden tidak salah pilih lagi dalam menempatkan para Direksi BUMN dan mendukung penguatan kelembagaan BUMN dan Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional yang sesuai dan mengakomodasi ayat-ayat substantif dari konstitusi pasal 33 serta harus menjadi materi penting dan perhatian serius publik dalam proses revisi UU BUMN yang sedang berjalan di parlemen, termasuk juga revisi UU Koperasi. Pasal-pasal kunci dan krusial lainnya yaitu menyangkut persetujuan penjualan asset (harta) BUMN, Kinerja Manajemen (Direksi dan Komisaris), Periodeisasi atau Masa Jabatan Direksi dan Komisaris (termasuk proses dan mekanisme pengusulan, pemilihan, penetapan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris), Penggabungan, Akuisi dan Pembubaran BUMN yang harus melalui mekanisme forum RUPK. (TN)