Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) pada saatnya akan menggantikan energi konvensional. Namun tidak memantik gairah pengusaha energi surya. Ada apa?
PLTS Sumalata, Gorontalo Utara, tak hanya ikonik. Juga menjadi saksi buah perwujudan sinergi dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Brantas Adya Surya Energi dengan PLN dalam membangun infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia.
Sinergi tersebut dalam upaya mendukung program Pemerintah mencapai target Bauran Energi tahun 2025 sebesar 6,5 GWp (Gigawatt peak). Terlebih, kebijakan Energi Nasional pada Perpres Nomor 79 tahun 2014 menyatakan target bauran EBT sebesar 23 persen (49,2 GW) pada tahun 2025 dan energi surya memberikan kontribusi sebesar 6,5 GW.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, energi surya adalah sumber energi melimpah di RI dengan potensi energi matahari hingga 207,8 Gigawatt. Hanya saja, pemanfaatan energi surya secara nasional melalui PLTS baru sebesar 94,42 MWp sampai dengan tahun 2018.
Hal itu tentu sangat jauh dibandingkan China yang menempati peringkat pertama negara terbesar yang memiliki kapasitas mencapai 45 GW, disusul Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat.
“Listrik yang dihasilkan oleh PLTS Sumalata ini tersambung langsung (On Grid) dengan jaringan 20 kV pada sistem distribusi PLN Area Gorontalo. Puncak tertinggi daya listrik (Peak Load) yang dihasilkan oleh PLTS ini adalah selama 3 jam, yaitu antara pukul 11.00 - 13.00 dengan beban bisa mencapai 2.049 kWp,” ujar Direktur Utama PT Brantas Adya Surya Energi, Sukarno, kepada TrustNews.
Dirinya pun menyoroti sejumlah aktor yang menjadi kendala pengembangan PLTS di Indonesia. Selain puncak tertinggi daya listrik yang sangat singkat, hanya tiga jam. Ini terkait dengan kondisi alam yakni sinar matahari tertutup awan atau mendung.
“Puncaknya siang mulai jam 10 sampe jam dua, tapi habis itu sore turun lagi. Belum lagi kalau mendung atau hujan,” ujarnya.
Pada sisi lain, lanjutnya, untuk menyiasati kondisi tersebut, dibutuhkan baterai khusus berkapasitas besar dalam menyimpan listrik saat kondisi mendung atau malam hari.
“Kita mau full memanfaatkan energi surya itu, berarti harus independen atau isolated. Kalau isolated itu mahal di baterainya,” tuturnya.
PLTS saat ini, lanjut Sukarno, masih memakai sistem manual dalam pengoperasiannya menggunakan On Grid yang terkoneksi langsung dengan pembangkit listrik PLN.
“Secara teknis memang merepotkan PLN, karena harus tetap menyediakan power plan juga. Ya itu tadi buat jaga-jaga tertutup awan, mendung atau hujan. Artinya PLN kan tetep harus menyiapkan pembangkit juga,” paparnya.
Sementara itu untuk menggenjot penambahan pelanggan yang PLTS Atap, pemerintah menerbitkan dua regulasi, yakni Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 12 Tahun 2019 tentang Kapasitas Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri yang Dilaksanakan Berdasarkan Izin Operasi dan Permen ESDM 13/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Sebagaimana diketahui, Permen ESDM 13/2019 merevisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018. Sedangkan, Permen ESDM 12/2019 mencabut Permen ESDM Nomor 29 Tahun 2012.
“Sebenarnya banyak yang dikeluhkan pengusaha PLTS terkait regulasi yang dinilai menghambat pengembangan energi baru terbarukan. Mulai TKDN hingga BOOT,” timpal Diretur PT Brantas Adya Surya Energi Anshar Muchtar.
Dalam skema Build Own Oparate Transfer (BOOT), diuraikannya, masalah penentuan jual listrik maksimal 85% dari Biaya Pokok Penyediaan (BPP). Gambarannya, kalau hanya 10 persen, maka hanga jual listriknya hanya 8,5 persen.
“Kondisi tersebut tentu tidak menarik bagi investor,” ujarnya.
Hal lain, jelasnya, bila skema sebelumnya, aset pembangkit listrik yang dibangun pengembang swasta setelah 20 tahun dilakukan kontrak ulang. Skema baru, aset yang dibangun swasta menjadi milik PLN setelah kontraknya berakhir.
“Kalau dulu BOOT itu kontrak ulang, sekarang BOOT jadi hak miliknya PLN. Semua investor pasti mikirnya berkali-kali untuk inves di PLTS,” pungkasnya. (TN)
Baca Juga :