![Policy Paper: Digitalisasi Teknologi Sebagai Solusi Kebijakan Pengembangan Kompetensi ASN Menghadapi Tantangan Reformasi Birokrasi](https://gambar.trustnews.id/image.php?width=640&image=https://gambar.trustnews.id/gbr_artikel/IMG-20250214-WA0025.jpg)
TRUSTNEWS.ID,. - Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan komponen penting dalam
mendukung transformasi birokrasi dan meningkatkan pelayanan
publik. Dalam tulisan ini penulis, menganalisis kondisi terkini pengembangan kompetensi ASN di Indonesia, menyoroti tantangan
utama, isu strategis, serta langkah-langkah strategis yang dapat diambil sebagai suatu kebijakan untuk mengoptimalkan peran
ASN dalam menghadapi transformasi digital dan globalisasi dengan mengidentifikasi masalah, isu strategis, serta memberikan
rekomendasi untuk memperkuat penyelenggaraan urusan pemerintahan melalui peningkatan kompetensi ASN.
Namun, sejumlah tantangan menghambat optimalisasi pengembangan ini, seperti kesenjangan kompetensi, keterbatasan anggaran pelatihan, dan kurangnya koordinasi antar instansi. Situasi ini diperburuk
oleh keterlambatan adaptasi terhadap digitalisasi dan perubahan struktur ekonomi global.
Kebijakan yang diusulkan mencakup akselerasi pelatihan berbasis teknologi, harmonisasi antarinstansi, dan integrasi pelatihan yang relevan dengan kebutuhan instansi. Solusi ini diharapkan mampu meningkatkan efektivitas ASN dalam menjalankan tugasnya, terutama menghadapi transformasi mendukung pencapaian target
nasional menuju Indonesia Emas 2045.
PENDAHULUAN
Reformasi birokrasi di Indonesia telah memasuki tahap penting sejak terbitnya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025. Pada akhir periode ketiga di tahun 2025, pemerintah menargetkan tercapainya tata kelola pemerintahan yang dinamis (dynamic governance) dan berkelas dunia.
Dari gambar di atas terlihat indeks tata kelola pemerintahan Indonesia, Provinsi dengan Tata Kelola Terbaik terdapat dari Daerah Istimewa Yogyakarta menempati peringkat pertama dengan skor 6,8. Ini menunjukkan bahwa provinsi ini memiliki tata kelola pemerintahan yang baik dalam aspek pemerintahan, birokrasi, masyarakat sipil, dan ekonomi.
Kemudian terdapat daerah Jawa Timur (6,43) dan DKI Jakarta (6,34) juga masuk dalam tiga besar, mencerminkan efektivitas birokrasi dan partisipasi masyarakat yang relatif tinggi.
Sedangkan Provinsi dengan Tata Kelola Terburuk terdapat pada Provinsi Kepulauan Riau (5,60) memiliki skor terendah dalam kategori tata kelola terbaik, namun masih lebih tinggi dibandingkan provinsi dalam daftar 10 terburuk. Sementara itu Provinsi Maluku Utara (4,45) dan Papua Barat (4,48) menjadi provinsi dengan skor terendah,
yang dapat menunjukkan tantangan dalam birokrasi, tata kelola pemerintahan, dan partisipasi masyarakat sipil.
Ketimpangan tata kelola pemerintahan masih cukup signifikan di Indonesia, dengan provinsi di Pulau Jawa dan Sumatra cenderung
lebih baik dibandingkan kawasan timur dan beberapa wilayah luar Jawa lainnya.
Reformasi birokasi tidak dimaknai hanya semata pada pemenuhan dokumentasi kegiatan-kegiatan (output based), tapi pada perubahan nyata yang dapat dirasakan oleh pemangku kepentingan (outcome based), dan terlebih lagi berdampak pada terwujudnya pemerintahan yang dinamis (impact based).
Salah satu aspek kritikal dalam reformasi birokrasi adalah pengembangan kompetensi SDM ASN. Saat ini, terdapat 4.758.730 ASN
di Indonesia, yang memegang peranan vital dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dari gambar di atas terlihat bahwa ASN di Indonesia didominasi oleh PNS (77%), bekerja di instansi daerah (78%), dan mayoritas memiliki pendidikan D-IV/S-1(64%). Generasi Y (54%) menjadi kelompok terbesar, menunjukkan dominasi pegawai berusia 30-40 tahun.
Sebagian besar ASN memiliki masa kerja 0-20 tahun (88%), menunjukkan banyaknya pegawai baru dibandingkan senior.
Sedangkan Jumlah ASN Wanita (57%) lebih banyak dibandingkan pria dalam struktur ASN. Berdasarkan hasil analisa, dalam pengembangan kompetensi ASN di Indonesia menghadapi berbagai kendala, seperti: Kesenjangan kompetensi di antara ASN pusat dan daerah; Keterbatasan anggaran pelatihan, yang hanya mencakup 1% dari total belanja pegawai; Kurangnya adaptasi terhadap teknologi digital, yang berdampak pada rendahnya efisiensi dan inovasi dalam
pelayanan publik.
Kesenjangan Kompetensi ASN, Pengembangan Kompetensi secara ideal, harus memperhatikan hasil identifikasi kesenjangan kinerja dan kesenjangan kompetensi pegawai yang bersangkutan.
Hal ini untuk menjamin pengembangan kompetensi yang dilakukan bersifat kontekstual dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan pegawai yang menunjang tugas dan fungsi pada organisasi.
Pemanfaatan Data Kesenjangan Kinerja dan Kompetensi, Solusi strategis meliputi pengembangan pelatihan berbasis digital melalui LMS, alokasi anggaran pelatihan yang lebih besar untuk daerah terpencil, kolaborasi dengan sektor swasta dan lembaga internasional, serta penguatan monitoring dan evaluasi. Langkah ini penting untuk memastikan peningkatan kompetensi ASN secara merata, mendukung transformasi digital, dan pengembangan sektor strategis.
Keterbatasan anggaran pelatihan, Berdasarkan data Statistik ASN 2023 yang diterbitkan oleh Kemen PAN-RB, anggaran pelatihan ASN hanya mencakup 1% dari total belanja pegawai, yang jauh di bawah standar ideal sebesar 5% seperti yang diterapkan di negara maju (McKinsey Global Institute, 2021). Alokasi ini menghambat peningkatan kompetensi ASN, terutama di daerah, di mana akses ke pelatihan berkualitas sangat terbatas. Oleh karena itu Solusi Strategis yang harus dilakukan Peningkatan anggaran pelatihan menjadi 5% dari belanja pegawai untuk menyesuaikan dengan standar internasional, Digitalisasi pelatihan melalui LMS dan One Stop Learning (OSL) untuk mengurangi biaya dan menjangkau ASN di daerah terpencil (McKinsey, 2021) dan Kerja sama dengan sektor swasta dan lembaga internasional untuk mendanai pelatihan teknis dan digitalisasi.
Kurangnya Adaptasi terhadap Teknologi Digital, Masalah utama terkait teknologi digital memiliki peran krusial dalam menciptakan pelayanan publik yang efisien dan inovatif. Namun, banyak ASN belum mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi ini, yang menyebabkan berbagai kendala dalam implementasi e-government, pengelolaan data, dan inovasi layanan publik.
Minimnya Pemanfaatan Teknologi dalam Pelatihan terdapat 65% pelatihan ASN masih menggunakan metode konvensional tanpa memanfaatkan teknologi digital (Laporan Evaluasi Reformasi Birokrasi, Kemendagri, 2022) dan Hanya 35% pelatihan yang menggunakan platform e-learning atau LMS (Learning Management System).
Hasil analisa permasalahan tersebut solusi kebijakan yang disarankan adalah memanfaatkan Learning Management System (LMS). LMS memungkinkan pelatihan daring yang menjangkau seluruh ASN, termasuk di daerah terpencil. Fokus pelatihan harus mencakup penguasaan aplikasi e-government, manajemen data berbasis cloud, dan teknologi big data.
Untuk meningkatkan adaptasi ASN terhadap teknologi digital, direkomendasikan langkah strategis, Penguatan Pelatihan Digital, menyelenggarakan pelatihan berkala tentang teknologi digital, termasuk literasi digital, pemanfaatan big data, dan kecerdasan buatan serta Mendorong penggunaan e-learning dan platform pembelajaran daring agar lebih mudah diakses oleh ASN di seluruh wilayah.
Dengan kebijakan ini, diharapkan ASN dapat lebih adaptif terhadap perubahan teknologi, meningkatkan efisiensi kerja, serta memberikan pelayanan publik yang lebih inovatif dan responsif.