Berawal dari bisnis forestry, jejaring bisnis Citra Borneo Indah (CBI) Group terus menggeliat. Bank perkreditan rakyat hingga hotel bintang empat siap beroperasi di Pangkalan Bun. Hal tersebut demi menggerakkan roda ekonomi tanah kelahiran.
Bisnis Citra Borneo Indah (CBI) Group terus menggeliat. Terbaru bekerjasama dengan AccorHotels, perusahaan yang berpusat di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah ini, akan mengoperasikan hotel Mercure Pangkalan Bun. Hotel setinggi Sembilan lantai dengan kapasitas 150 kamar ini akan berdampingan dengan menara perkantoran CBI (CBI Office Tower) di atas lahan seluas ± 2 ha.
Bila nantinya hotel Mercure Pangkalan Bun beroperasi kian menambah Panjang daftar jejaring CBI Group, mulai dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR), pelayaran, perkebunan kelapa sawit hingga peternakan.
“Semuanya berawal dari bisnis forestry,” ujar CEO Citra Borneo Indah (CBI) Group Rimbun Situmorang dalam sebuah pertemuan dengan TrustNews.
Dalam perkembangannya, lanjut Rimbun, perusahaan demi perusahaan tercipta dikarenakan faktor kebutuhan. Saat berbisnis forestry kerap terkendala masalah pengiriman barang melalui jalur sungai. Kendala tersebut melahirkan ide untuk membentuk unit pelayaran. Minimnya sektor pelayaran di Kalteng saat itu, tentu menjadi peluang bisnis. Pun saat membuka mikro bank (Bank Perkreditan Rakyat). Didasari susahnya masyarakat dalam mengakses ke dunia perbankan, tidak saja diperkotaan, tapi juga masyarakat di daerah-daerah pedalaman.
“CBI secara group terdiri dari beberapa bisnis yang saling terkait satu dengan lainnya. Awalnya forestry, karena sulitnya dalam pengiriman barang melalui jalur, kita mencoba mendirikan bisnis pelayaran. Kemudian melihat susahnya masyarakat masuk ke perbankan, kita jembatani dengan mendirikan BPR,” ujarnya.
Ayunan CBI Group selanjutnya melirik perkebunan kelapa sawit. Melalui bendera PT Citra Borneo Indah, sektor perkebunan beranak pinak melahirkan tujuh perusahaan. Yakni PT Sawit Sumbermas Sarana, PT Kalimantan Sawit Abadi, PT Mitra Mendawai Sejati, PT Sawit Multi Utama, PT Tanjung Sawit Abadi, PT Mirza Pratama, dan PT Menteng Kencana Mas.
“Kalau diperkebunan awalnya hobi saja, apalagi di tahun 2000an perkebunan kepala sawit belum begitu dikenal seperti sekarang. Masa depannya seperti apapun saat itu kita belum tahu,” paparnya.
Berawal dari luas lahan 198 hektar, masuk tahun 2003, bisnis sawit mulai berkembang dengan cepat. Dan saat ini mampu menghasilkan 640 ton per jam.
“Dari perkebunan sawit, kita masuk ke refinery & fraksinasi dengan kapasitas produksi 2.500 ton per hari. Lalu berkembang ke biodiesel, harapannya Januari 2020 biodiesel dengan kapasitas 1500 Ton nanti yang akan kita bangun,” tegasnya.
Pola yang sama juga dipakai CBI Group saat memulai usaha peternakan sapi. Ini terkait dengan limbah kelapa sawit seperti janjang kosong dan serat fibernya. Selain dijadikan pupuk organik, bungkil bisa sebagai pakan ternak.
Dari luas area lahan kelapa sawit yang sebesar 90 ribu hektar, sebanyak 30 hektar disisihkan untuk area peternakan sapi. Konsepnya yang diusung pun menarik yakni bagi hasil, masyarakat diminta membentuk kelompok terdiri dari 10 orang.
Setelah terbentuk, kelompok itu akan diberi indukan sapi sebanyak 20 ekor. Pembagian hasil dari plasma sapi tersebut melalui produksi anaknya. Dengan ketentuan 50% untuk masyarakat dan 50% untuk perusahaan. Setelah tiga kali produksi, induk sapi akan dikembalikan ke plasma inti untuk dijual kepasaran.
Hasilnya, berawal dari 570 ekor sapi, kini jumlah sapi yang dikelola PT Sulung Ranch sekitar 6.000 ekor.
“Bahan pakannya tersedia dari hasil sisa pengolahan kelapa sawit. Lahannya sudah ada juga dari lahan perkebunan kelapa sawit yang ada. Mengapa tidak kita optimalkan dengan mengintegrasikan perkebunan sawit dan peternakan sapi. Ternyata sangat ramah lingkungan,” paparnya.
Bagi Rimbun, tumbuh kembangnya CBI Group, tidak lepas dari niatan Abdul Rasyid AS, sebagai pemilik CBI Group dalam membangun tanah kelahirannya Kotawaringin Barat khususnya dan Kalimantan Tengah umumnya.
Saat hal ini ditanyakan kepada Abdul Rasyid AS dalam sebuah kesempatan, dia mengatakan, “Saya ingin mengubah perekonomian Kabupaten Kobar menjadi lebih maju. Dulu orang yang datang ke Pangkalan Bun itu-itu saja, kini setelah kantor pusat CBI Group berdiri, banyak orang yang datang ke Pangkalan Bun. Saya harap keberadaan CBI Group membawa dampak majunya perekonomian daerah,” ujarnya.
Abdul Rasyid AS pun mengambil contoh, langkahnya membangun Refined Bleached and Deodorized (RBD) Olein di kawasan industri Pelabuhan Tempenek di kecamatan Kumai. Menurutnya, Kabupaten Kobar tidak cocok untuk dibangun industri yang cukup besar. Ini dikarenakan masalah infrastruktur yang menyebabkan mahalnya biaya transportasi.
“Saya orang Pangkalan Bun dan saya tidak ingin pembangunan industri tumbuh di kota besar saja, maka itulah alasan saya membangun kawasan industri di Tempenek," ujarnya.
Harapannya, pemerintah pusat dan provinsi mau memberikan perhatian serius pada pembangunan infrastruktur di Kabupaten Kobar. Karena keberadaan industry hilir saat ini dinilai sangat berperan dalam hal mendukung pembangunan, guna menarik devisa dan pajak.
"Bila pemerintah berkomitmen memajukan industri hilir, tolong bantu kami para pengusaha di Kalteng. Karena dengan potensi yang ada, rasanya Kalteng bisa menjadi salah satu produsen industry kelapa sawit yang terbesar di Indonesia," tegasnya.
Sementara Rimbun yang berada dekat Abdul Rasyid AS, menambahkan, keberadaan CBI Group dengan ribuan karyawannya memberikan dampak terhadap pertumbuhan daerah.
“CBI Group punya tagline ‘Karya Nyata Untuk Negeri’ dalam upaya putra daerah membangun kota kelahirannya. Contoh kecil baik karyawan CBI Group maupun tetamu yang datang tentu berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung atau pasar, ini menciptakan perputaran uang dan menggeliatkan pergerakan ekonomi di Kobar,” paparnya.
Akan berbeda nilainya, lanjut Rimbun, bila CBI Group mendirikan kantor pusat di Jakarta. Secara ekonomi, uang hanya berputar di Jakarta. Namun hanya sedikit yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah.
“Kalau ada yang mengatakan membangun daerahnya, tapi semua bisnisnya di Jakarta, ya nggak elok. Kalau mau bangun daerahnya dalam bentuk nyata, dirikan kantor pusatnya di daerah. Ini akan memicu multiplayer efek, mulai dari bisnis penginapan, kuliner, warung dan pasar bahkan sekolah-sekolah kejuruan. Dampaknya akan jauh berbeda dan langsung dirasakan oleh masyarakat daerah karena perputaran uangnya di daerah,” pungkasnya. (TN)