
Bak permata tersembunyi di lipatan zaman, ekonomi halal menjanjikan kemakmuran di tengah pasar global yang diprediksi mencapai US$3,1 triliun pada 2027. Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, bagaikan oase di tengah gurun pasir.
Mulai dari aroma makanan olahan yang menggugah selera, kosmetik dan farmasi yang menjaga kesucian, hingga fashion yang anggun serta beragam barang gunaan lainnya, ekonomi halal menyimpan peluang besar yang menanti untuk digarap. Namun, potensi ini juga datang bersama tantangan yang harus diatasi agar Indonesia dapat benar-benar menjadi pemain utama dalam ekosistem halal global yang tengah melesat.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mencatat telah mensertifikasi lebih dari 6 juta produk, di mana 87%-nya berasal dari UMKM. Untuk mempercepat proses sertifikasi, BPJPH memperkenalkan skema sertifikasi halal melalui pernyataan mandiri (self-declare) bagi usaha mikro dan kecil (UMK) dengan kriteria tertentu, seperti penggunaan bahan yang dipastikan kehalalannya dan proses produksi yang sederhana.
Upaya ini juga diperkuat dengan perluasan program fasilitasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, lembaga, pemerintah daerah, hingga sektor swasta. Meski BPJPH memiliki kapasitas untuk menerbitkan hingga 10.000 sertifikat per hari, angka permintaan sertifikasi halal masih jauh dari potensi maksimal.
Di balik gemerlap peluang, kabut tantangan membayangi. Salah satunya adalah membangun kesadaran dan kedisiplinan di kalangan jutaan pelaku usaha, khususnya UMKM—tulang punggung ekonomi bangsa. Rendahnya partisipasi pelaku usaha menjadi hambatan utama dalam mewujudkan ekosistem halal yang kuat, meskipun permintaan global terus meningkat.
Kepala BPJPH, Ahmad Haikal Hasan (akrab disapa Babe Haikal), menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam mengintegrasikan sertifikasi halal ke dalam proses perizinan usaha. Ia juga menyoroti perlunya sosialisasi, edukasi, dan fasilitasi yang lebih masif dengan melibatkan kementerian, lembaga, pemerintah daerah, kepolisian, serta Kementerian Perdagangan dan Perindustrian.
“Disiplin halal menjadi hambatan terbesar di kalangan UMKM,” ujarnya kepada TrustNews. “Meskipun infrastruktur dan teknologi telah disiapkan, tantangannya adalah memobilisasi pelaku usaha untuk mendaftar. Ini membutuhkan sinergi lintas pemangku kepentingan.”
Secara global, laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2023 mencatat bahwa pengeluaran konsumen Muslim di enam sektor ekonomi riil mencapai US$2,29 triliun pada 2022, dan diproyeksikan melonjak menjadi US$3,1 triliun pada 2027. Sektor keuangan syariah sebagai enabler mencatatkan aset sebesar US$3,9 triliun (2021/2022) dan diperkirakan meningkat hingga US$5,9 triliun pada 2025/2026.
Dari sisi ekspor, antara Januari hingga Oktober 2024, produk halal Indonesia menghasilkan pendapatan ekspor sebesar US$41,42 miliar, dengan surplus perdagangan mencapai US$29,09 miliar. Makanan olahan mendominasi dengan US$33,61 miliar, diikuti fashion Muslim (US$6,83 miliar), farmasi (US$612,1 juta), dan kosmetik (US$362,83 juta).
“Angka ini menegaskan keunggulan kompetitif Indonesia, yang didukung keuangan syariah yang terus tumbuh,” jelas Haikal.
Untuk memaksimalkan peluang tersebut, kesenjangan kesadaran dan kepatuhan harus segera diatasi. Asosiasi industri dan perdagangan memiliki peran penting dalam mengedukasi UMKM tentang manfaat komersial dari sertifikasi halal. Halal bukan sekadar kewajiban, tapi menjadi standar kualitas yang memberikan nilai tambah (added value) bagi produk agar mampu bersaing di pasar global.
Selain itu, strategi penguatan produk halal perlu diarahkan pada perluasan akses pasar global. Pemanfaatan platform digital dapat menyederhanakan proses akses dan diseminasi informasi sertifikasi halal, sekaligus mempercepat adopsi di kalangan pelaku usaha.
“Ekonomi halal adalah aset strategis Indonesia. Namun, potensi ini hanya akan terealisasi melalui aksi kolektif yang dilakukan secara sinergis dan kolaboratif,” tegas Haikal.
Ia juga mengingatkan bahwa tanpa tertib halal, Indonesia berisiko kehilangan peluang di pasar global yang terlalu besar untuk diabaikan. “Jika seluruh pemangku kepentingan bersinergi untuk menutup kesenjangan kepatuhan ini, tertib halal akan semakin terwujud. Indonesia pun dapat memantapkan posisinya sebagai pusat halal global, dengan ekonomi halal yang secara produktif mendorong pertumbuhan nasional di tengah iklim global yang penuh ketidakpastian,” pungkasnya.