trustnews.id

IKABI: SAWIT DAN KEMANDIRIAN ENERGI
Tatang Hernas Soerawidjaja

IKABI: SAWIT DAN KEMANDIRIAN ENERGI

NASIONAL Jumat, 10 September 2021 - 07:33 WIB TN

Upaya pemerintah dengan program B100 dibayangi ketidak stabilan oksidasi. Mudah beku dibandingkan B30.

Pemerintah terus mendorong pemanfaatan biodiesel. Tidak berhenti di pencampuran Fatty Acid Methyl Esters (FAME) 30% atau dikenal dengan program B30, tapi akan berkembang menjadi B40, B50, sampai B100 yang 100% berbasis minyak sawit.

Program ini diharapkan dapat mendukung kemandirian energi dan menggunakan energi yang lebih bersih ramah lingkungan yang berasal dari sumber daya alam nasional. Penggunaan biodiesel ini pun sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir dan diterima masyarakat, hal ini terlihat dari peningkatan penggunaan setiap tahunnya.

Pemerintah memancang gagasan besar, Kemandirian energi. Ini tercatat pengurangan impor minyak solar terlihat cukup signifikan sejak empat tahun terakhir. Contoh pada 2017, Indonesia mampu mengurangi 2,5 juta kiloliter (kl) atau setara USD 1,1 miliar. Proyeksi 2020, pengurangan impor solar mencapai 9,6 juta kl atau setara USD 5 miliar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkap data, program pemanfaatan biodiesel pada 2020 telah mencapai 8,46 juta kilo liter (KL). Jumlah pemanfaatan biodiesel tersebut telah membantu menghemat devisa negara hingga Rp38,31 triliun, atau sekitar USD 2,66 miliar.

Adapun, perhitungan ini dilakukan menggunakan rata-rata MOPS Solar sebesar USD 50 per BBL dan kurs Rp14.400 per USD.

Secara tahunan, jumlah pemanfaatan biodiesel terus merangkak naik sejak 2017, setelah sebelumnya mengalami fluktuasi. Pada 2017, jumlah pemanfaatan biodiesel mencapai 2,57 juta KL, turun dari tahun 2016 yang sebesar 3,01 juta KL.

Angka tersebut naik mencapai 3,75 juta KL pada 2018, lalu 6,39 juta KL pada 2019 dan mencapai 8,64 juta KL pada 2020. Ditargetkan pada 2021, jumlah pemanfaatan biodiesel ini bisa mencapai 9,2 juta KL.

Melihat hal itu, pemerintah semakin progresif dengan rencana B100. Rencana ini diperkirakan membutuhkan waktu 2-3 tahun. Bahkan dengan membuat lompatan tidak dengan B40, tapi B50 Kemudian B60.

Untuk menghasilkan B100 diestimasikan nilai investasi sebesar US$20 miliar dan keseluruhan biaya ditanggung pihak swasta dan bukan pemerintah.

Dari aspek bahan baku, pemakaian B100 akan meningkatkan penggunaan minyak sawit di dalam negeri mencapai 36 juta kl per tahun. ini belum memperhitungkan kebutuhan lain seperti minyak goreng dan oleochemical. Dengan demikian, akan berdampak pada ekspor yang kecil.

Apalagi Indonesia memiliki sumber daya kelapa sawit yang melimpah yang bisa menjadi salah satu produsen biodiesel terbesar di dunia.

Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Tatang Hernas Soerawidjaja menyampaikan dibandingkan biodiesel hasil kedelai, bunga matahari dan rapeseed, biodiesel sawit jauh lebih bagus. Ini disebabkan zat kimia alami yang memiliki struktur mirip dengan Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah asam lemak.

“Indonesia sangat kaya akan pohon-pohon potensial penghasil minyak lemak. Ditengah impor BBM 360.000 barel/hari, Indonesia justru penghasil minyak lemak terbesar di dunia dengan 46 juta ton/tahun CPO (Crude Palm Oil, Minyak sawit mentah) yang setara dengan 750.000 barel/hari," ujar Tatang yang juga tercatat sebagai pakar ITB di Kelompok Keahlian Energi dan Sistem Pemroses Teknik Kimia.

Kemudian Tatang coba membandingkan B30 dan B100. Untuk nilai kalor B30 itu sama dengan 95% solar murni, tetapi efisiensi pembakarannya lebih baik dan emisi gas buangnya lebih bersih serta biodiesel praktis tak mengandung belerang/sulfur.

“Konsumsi spesifik bahan bakar mobil berbahan bakar B30 mungkin sedikit lebih besar dari yang berbahan bakar solar murni, tetapi tenaga mobil tetap,” tuturnya.

Selain itu, berbeda dengan solar yang tak suka air, biodiesel relatif lebih suka air daripada solar karena mengandung atom oksigen. Oleh karena itu, lanjutnya, tangki-tangki yang akan digunakan untuk menyimpan B30, termasuk tangki bahan bakar kendaraan harus terlebih dahulu bebas dari kontaminasi dan kemungkinan penyusupan air dan dijaga demikian seterusnya.

"Masalah biasanya muncul jika tata cara penyimpanan dan penanganan solar diterapkan pada B30," ujarnya.

"Bahan bakar B30 yang tersimpan lama di dalam tangki lebih dari 3 bulan tanpa penjagaan agar bebas air bisa dirusak atau didegradasi oleh mikroba," ungkap-nya memberi saran.

Selain itu, lanjutnya, saat baru menggunakan B30, pada pekan pertama perlu mengganti saringan bahan bakar. Biodiesel tidak kompatibel dengan material-material logam seperti tembaga, timah, seng, kuning, dan perunggu, serta bahan nonlogam seperti karet alam maupun karet sintesis.

"Jangan lupa B30 hendaknya tidak berkontak dengan onderdil yang dibuat dari material-material itu. Lebih baik dari bahan baja karbon, baja antikarat, aluminium, teflon, viton, atau nylon 6/6," sebut Tatang

Perbedaan dengan B100 terkait dengan kestabilan oksidasi yang cepat rusak akibat terkocok udara secara terus-menerus atau faktorr lain seperti suhu, cahaya dan zat pro-oksidan.

Hal paling mengkhawatirkan dari biodesel itu sebetulnya adalah kestabilan oksidasi. Misalnya, biodiesel 100 persen di masukan ke dalam mobil. masalahnya bukan saat kendaraan itu diisi B100, tapi saat kendaraan tersebut berjalan dia terkocok oleh udara," paparnya.

"B100 sawit murni itu kestabilan okdidasinya sekitar sepertiga dari syarat solar. Kestabilan oksidasi bisa ditingkatkan (walaupun belum tentu murah) tetapi biasanya biodieselnya menjadi lebih mudah beku. Yang sedang kami usahakan lewat ilmu pengetahuan adalah bagaimana membuat kestabilan oksidasi setara solar tetapi tak mudah beku dan biayanya rendah" paparnya soal kelemahan B100.

Namun Tatang menegaskan, biodiesel sawit memiliki kualitas terbaik di dunia, Indonesia pun sudah mencapai B30. Karena itulah, salah satu yang diperangi Uni Eropa ke Indonesia terkait biodiesel sawit karena ini akan mematikan petani bunga matahari, kedelai dan rapeseed mereka. “Toh, biodiesel sawit kita lebih bagus mutunya ketimbang biodiesel yang eropa hasilkan,” ujarnya

“Karena itulah kita sudah bisa B30 sedangkan negara-negara barat baru berani B7,” ujar Tatang.

Apa yang diungkap Tatang terkait kebijakan Uni Eropa terkait sawit Indonesia, sejurus dengan hasil penelitian dari organisasi lingkungan Transport and Environment (T&E) yang menyimpulkan, kebijakan Uni Eropa mengurangi konsumsi minyak sawit dari Asia Tenggara mendorong pelaku usaha menggunakan minyak kedelai, yang mempercepat laju perusakan hutan di Amerika Selatan.

Kesimpulan itu muncul dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada Juli lalu, perihal jejak kerusakan ekologis akibat konsumsi bahan bakar nabati di Uni Eropa. Akibatnya, pengalihan fungsi hutan dalam satu dekade terakhir mencakup kawasan seluas Belanda.

Dalam studinya, para peneliti dari organisasi lingkungan Transport and Environment (T&E), menganalisa data produksi dan konsumsi biodiesel dari tiga lembaga statistik, Oil World, Stratas Advisors, dan Eurostat.

Menurut analisa mereka, konsumsi biodiesel oleh Uni Eropa membutuhkan perkebunan sawit seluas 1,1 juta hektar di Asia Tenggara dan 2,9 juta hektar lahan kedelai di Amerika Selatan.

Perkembangan ini dinilai ironis, karena muncul sebagai buntut upaya Uni Eropa mengurangi penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar pada 2030 mendatang. T&E menyimpulkan, kebijakan tersebut malah memindahkan deforestasi dari Asia Tenggara ke Amerika Selatan.

Menurut T&E, konsumsi minyak kedelai untuk produksi biodiesel melonjak 17% selama 2020. Sebaliknya volume konsumsi minyak sawit hanya naik 4,4 persen.

Sejak 2018, porsi minyak kedelai dalam sistem energi Eropa melonjak dari 34% menjadi 44%. Perkembangan ini semata digerakkan oleh biodiesel, menurut laporan tersebut. "Tren ini bermasalah karena kedelai berpotensi menjadi sawit baru,” tulis para peneliti.

Ekspansi perkebunan kedelai saat ini mendorong deforestasi di Amazon, Brasil, dan ekosistem kritis lain di Amerika Selatan. Kerusakan hutan tidak hanya melepas emisi, tetapi juga menghilangkan aset terbesar untuk menyerap gas rumah kaca.

Jika tidak mengubah kebijakan biodieselnya, Uni Eropa akan memproduksi emisi tambahan sebesar 173 juta ton dari kedelai dan sawit pada 2030, menurut laporan T&E.

"Itu sebetulnya salah satu alasan mengapa Eropa sangat memojokkan sawit, karena utama untuk bahan bakar. Mau Eropa mau Amerika Serikat juga begitu," pungkasnya. (TN)