Kekurangan bahan baku jadi nyanyian wajib para pelaku penyamakan kulit. Selain gempuran kulit sintetis dan tuntutan produk ramah lingkungan.
Masa-masakejayaan itu hanya tinggal kenangan. Sebuah masa reputasi kualitas produk kulit made in Indonesia kesohor di seluruh dunia di tahun 1960-an dan 1970-an.
Sejak itu, jangankan bicara soal berdiri sejajar dengan Italia, Amerika Serikat, Brazil, China, Jerman, India, Pakistan dan Australia sebagai negara eksportir kulit dunia. Indonesia pun mulai menghadapi pesaing berat dari negara tetangga yakni Thailand, Malaysia bahkan Vietnam.
Sebaliknya, perkara "kekurangan bahan baku kulit' seakan menjadi nyanyian wajib para pelaku penyamakan kulit. setidaknya ada tiga hal yang membuat industri penyamakan kulit menyusut. Pertama, ketersediaan kulit mentah yang minim di dalam negeri.
Berdasarkan data Kemenperin, industri penyamakan kulit nasional dapat memproduksi 23,5 juta lembar atau 250.000 square feet (sqft) kulit jadi. Namun demikian, ketersediaan kulit mentah lokal hanya 4,8 juta lembar.
Ada defisit bahan baku lebih dari 18 juta lembar kulit mentah. Secara rinci, industri kulit berukuran besar masih defisit bahan baku sekitar 2,3 juta lembar, sedangkan industri kulit berukuran kecil mencapai 16,3 juta lembar.
Kedua meningkatnya penggunaan material non-kulit, terkait isu lingkungan hidup. Dan, ketiga, belum terkoneksinya industri pengguna dan industri penyamakan kulit nasional.
PT Budi Makmur Jaya Murni, pioner usaha penyamakan kulit di Yogyakarta, saat ini dijalani oleh Sutanto Haryono, merasakan betul pasang surut usaha penyamakan yang dirintis orang tuanya sejak tahun 1966.
"Prospeknya sulit," ujar Presiden Direktur PT Budi Makmur Jaya Murni, Sutanto, selaku generasi kedua, mengakui ini kepada TrustNews.
"Ada tiga sentra kulit yakni Jogjakarta, Garut dan Magetan yang masih di dominasi oleh UMKM. Saat ini masih kurang lebih ada 200-an pengusaha UMKM, sedangkan industri kelas menengah ke atas barangkali tinggal 40-an. Banyak yang sudah meninggalkan usahanya karena berbagai sebab," paparnya.
Sementara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendata jumlah pabrikan menyusut 45,83 persen dari 312 unit pada 2008 menjadi 169 unit pada 2018. Sementara itu, jumlah tenaga kerja terkoreksi 8,21 persen menjadi 5.645 orang.
Terkait dengan hubungan industri penyamakan dan industri pengguna, Sutanto melihat, khusus di DIY dan Jawa Tengah, secara umum lebih mengkhususkan diri pada bahan untuk produk sarung tangan.
"Kebutuhan di wilayah Jateng lebih banyak permintaan bahan baku kulit untuk sarung tangan olahraga, otomatis ada sinergi antara yang menyiapkan lembaran kulit dengan yang membuat produk jadinya," jelasnya.
Adapun soal lingkungan hidup, diakuinya, permintaan untuk produk yang ramah lingkungan makin lama makin banyak diminta. Kondisi ini memaksa para pelaku penyamakan untuk mengikuti perubahan gaya hidup masyarakat.
"Soal bahan kimia, konsumen menuntut penggunaan bahan kimia yang ramah lingkungan. Kami dan para pelaku terpaksa mengganti bahan kimia yang biasa digunakan untuk memenuhi standar yang diminta konsumen Amerika dan Eropa," paparnya.
Termasuk urusan pengolahan limbah, Budi Makmur Jaya Murni bahkan sudah membangunnya pada tahun 1970-an, jauh sebelum pemerintah mewajibkan produsen kulit untuk memiliki fasilitas pengolahan air limbah, yang baru terjadi pada tahun 1990-an.
"Kami membangunnya sendir pengolahan limbahi pada tahun 1970-an. Perusahaan kami juga telah memperoleh sejumlah sertifikat industri yang belum diperlukan tetapi diperkirakan akan menjadi wajib di masa depan," ujarnya.
"Perusahaan kami berkomitmen pada budaya profesionalisme dan sudah bersertifikat ISO. Budi Makmur Jaya Murni juga telah berkali-kali membuktikan diri sebagai perusahaan yang tetap terdepan di masanya," pungkasnya. (TN)