trustnews.id

Angkasa Pura I Membangun Konektivitas dan Integrasi Bandara
Faik Fahmi Direktur Utama Angkasa Pura (AP) I

Angkasa Pura I merogoh kocek untuk mengembangkan dan mempermodern 14 bandara yang berada di bawah naungannya. Totalnya hingga mencapai Rp 17 triliun lebih. Tanggungjawab semakin besar dengan mengelola bandara-bandara kecil di kawasan timur Indonesia.


Faik Fahmi ditunjuk menjadi Direktur Utama PT Angkasa Pura I (AP I) di penghujung tahun 2017, tepatnya pada 22 Desember 2017. Meski tahun tersebut tinggal tersisa beberapa hari lagi, langkah gegas atau bahkan berlari harus diambilnya untuk mengejar ketertinggalan bandara-bandara yang berada dalam wilayah kerjanya. Di hari pertama saja, Faik sudah langsung mengadakan rapat dengan dewan komisaris untuk menyelesaikan permasalahan Kulon Progo.
Selanjutnya, pria yang memiliki moto “seeing is believing” ini, dalam 10 hari berikutnya berkeliling ke seluruh bandara AP I untuk dapat melihat langsung ke lapangan agar tahu apa saja yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
“Dari 14 bandara yang AP I kelola, 9 bandara kapasitasnya sudah tidak mampu menampung jumlah penumpang,” ujar Faik kepada TrustNews. 
Dalam upaya mendandani bandara agar tampil menawan dan kekinian, lanjut Faik, Angkasa Pura I menyiapkan investasi sebesar Rp 17,24 triliun yang dipecah menjadi dua, yakni Rp7,9 triliun di antaranya digunakan untuk pembangunan empat proyek bandara, yaitu pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo, Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang, dan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar.
Sedangkan sisanya, Rp 5,8 triliun untuk pengembangan bandara-bandara lainnya dan Rp 3,5 triliun untuk investasi operasional, termasuk pengembangan bandara dari Unit Pengelola Bandar Udara (UPBU) Kementerian Perhubungan.
“Kita kerja sangat masif di semua lini dalam satu tahun terakhir ini dan hasilnya bisa dilihat bandara-bandara Angkasa Pura Satu semua berubah,” ujarnya.  
Faik pun menunjuk Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani, Semarang, kini mampu menampung 7 juta penumpang pertahun. Sebelumnya hanya memiliki kapasitas 800 ribu penumpang pertahun. 
“Pembangunan Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani sangat cepat seharusnya selesai 18 bulan, namun di bulan 11 sudah rampung dengan konsep ramah lingkungan. Lahan bakau yang ada tidak kita timbun, namun dibuatkan tiang-tiang seolah-olah bandaranya seperti mengapung,” paparnya.  
Rekor tercepat membangun bandara dipegang Bandara Internasional Yogyakarta (YIA). Hanya butuh waktu 8 bulan untuk membangun bandara dengan kapasitas tampung 14 juta penumpang.
“Bandara YIA  masuk dalam kategori pembangunan bandar udara tercepat di dunia, karena 8 bulan air side sudah selesai dan sudah dioperasikan,  kita harap akhir Desember tahun ini sudah selesai 100 persen,” ujarnya.  
Sedangkan untuk Bali, Makassar, Banjarmasin dan Kulon Progo sedang dalam proses pengembangan untuk peningkatan kapasitas. Bila semuanya selesai semua bandara di bawah naungan AP I akan berubah total. Tidak hanya dari segi pewajahannya saja, tapi juga kualitas bangunan dan tentunya daya tampungnya jauh lebih besar.   
“Semua bandara di bawah naungan AP I mampu menampung 79 juta penumpang, nanti dengan program yang sedang saya kembangkan kapasitas di tahun 2023 diharapkan bisa mencapai level ke 140 juta penumpang atau naik 2 kali  lipat. Kita meyakini pengembangan bandara menjadi salah satu stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” papar Faik yang tercatat pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT ASDP (Persero), Direktur Komersial Angkasa Pura II dan Direktur Pelayanan di Garuda Indonesia.
Pengembangan bandara-bandara Angkasa Pura I, menurut Faik, merupakan wujud komitmen perusahaan dalam mendukung pengembangan konektivitas udara dan pengembangan wilayah, khususnya di wilayah tengah dan timur Indonesia yang masih belum dikembangkan secara optimal. 
“Setiap bandara harus dibangun konektivitasnya, misalnya pengembangan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar akan ditingkatkan kapasitas daya tampungnya dari 7 juta menjadi 15 juta penumpang. Mengapa, saya ingin menggunakan bandara di Makassar sebagai hub airport untuk penerbangan domestik ke wilayah timur Indonesia,” ujarnya.
Untuk mewujudkan rencana tersebut, lanjutnya, AP I akan mengambil alih pengelolaan bandara yang saat ini masih di bawah naungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) bandara Sentani, Luwuk, Labuan Bajo dan bandara-bandara kecil di kawasan timur. 
“AP I mempunyai tugas membangun konektivitas, misalnya bandara-bandara kecil di Ambon  dan di Biak dijadikan sebagai feeder dan Makassar sebagai hub airport. Sehingga pengembangan bandara-bandara kecil tidak akan terlepas dengan bandara-bandara besar yang ada di sekitarnya, kita menyebutnya terintegrasi,” paparnya.  
Penambahan jumlah bandara yang dikelola AP I, lanjutnya, secara otomatis menggenjot trafik penumpang yang ditargetkan mencapai 140 juta penumpang per tahun dalam lima tahun ke depan.
Tak hanya mengambil alih bandara, Angkasa Pura I juga terus meningkatkan kapasitas dan kualitas layanan di 13 bandara eksisting yang dikelola.
“Target pertama saya adalah Bandara Sentani Jayapura, karena tahun 2020 ada kegiatan PON,  jadi saya ingin memastikan kalau nanti sudah masuk dalam pengelolaan AP I kita akan perbaiki kualitas bandara maupun kualitas layanannya.  Sehingga pada pelaksanaan PON 2020, Bandara Sentani sudah memenuhi standar yang baik,” ujarnya. 
Bagi Faik ada begitu banyak dampak positif dari keberadaan sebuah bandara. Apalagi Indonesia yang memiliki begitu banyak pulau, angkutan udara yang bisa menyatukannya dalam waktu relatif cepat baik itu untuk angkutan orang maupun barang.
“Saya sangat optimis bahwa AP I akan memiliki peran yang lebih signifikan lagi ke depan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia melalui pengembangan konektivitas, peningkatan kapasitas serta peningkatan kualitas dan pelayanan di bandara-bandara yang kita miliki menjadi bandara yang lebih melayani,” pungkasnya. (TN)