trustnews.id

Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementan Erwin Noorwibowo, STP PANGAN NASIONAL VERSUS SUSUTNYA LAHAN PERTANIAN
Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementan Erwin Noorwibowo

Kondisi lahan pertanian untuk pangan menghadapi tekanan akibat persaingan dengan sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk. Pemanfaatan lahan-lahan marginal dan lahan-lahan terlantar menjadi alternatif pembukaan areal lahan pertanian baru.

Swasembada pangan menjadi program pembangunan pertanian yang strategis karena memiliki dampak luas. Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, mutu bahan pangan yang baik, serta nilai gizi yang tinggi memiliki dampak luas pada perekonomian dan mutu sumber daya manusia.

Di sisi lain, luas lahan pertanian terus mengalami penyusutan. Angkanya mencapai 60.000 hektare tiap tahun. Penyusutan ini disebabkan karena alih fungsi lahan ke area non pertanian. Biasanya, alih fungsi ini dilakukan untuk proyek pembangunan jangka panjang seperti perumahan, pabrik dan jalan tol dan fasilitas umum lainnya.

Kementerian Pertanian mengungkap data di Januari 2020, luas penyusutan lahan tersebut setara dengan angka penurunan produksi sebanyak 300.000 ton setiap tahun.

Data yang tak jauh berbeda dibeberkan Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi Tahun 2020 hanya mencapai 10,66 juta hektar atau mengalami penurunan sebesar 0,19 persen dibandingkan dengan Tahun 2019 yang sejumlah 10,68 juta hektar atau 20,61 ribu hektar.

Erwin Noorwibowo, Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP), Kementerian Pertanian (Kementan), mengatakan, kondisi lahan pertanian untuk pangan saat ini menghadapi tekanan akibat persaingan dengan sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk.

"Kondisi demikian menyebabkan lahan pertanian pangan dihadapkan kepada masalah penurunan luas lahan akibat dikonversi ke penggunaan nonpertanian," ujar Erwin Noorwibowo kepada TrustNews.

"Konversi lahan tersebut juga banyak terjadi pada lahan sawah yang merupakan sumber daya lahan utama untuk menghasilkan bahan pangan pokok," jelasnya.

Sebagai informasi, penyusutan lahan pertanian sejatinya telah terjadi sejak 10 tahun lebih, mengacu pada data BPS tahun 2010, menunjukkan fakta saat itu lahan pertanian Indonesia diperkirakan hanya seluas 9.295.385 ha, dengan jumlah penduduk menjadi 237,6 juta jiwa. Setelah 10 tahun kemudian atau Tahun 2020, jumlah penduduk Indonesia berdasar data BPS yang diolah oleh media riset DATACORE mencapai 276.647.735 jiwa (pengurangan akibat kasus meninggal dunia oleh Covid19).

Penyusutan luas lahan pertanian terbesar berdasar data BPN terjadi di Pulau Jawa, yaitu telah menjadi hanya 4,1 juta hektar pada Tahun 2007. Sementara per tahun 2010, luas lahan pertanian tersebut kembali berkurang menjadi 3,5 juta hektar. Dalam periode Tahun 2007-2010, konversi lahan sawah di Pulau Jawa mencapai 600.000 hektar.

Data BPS Tahun 2011, mencatatkan, pengurangan luas lahan sawah yang terja- di di Pulau Jawa tidak sama dengan jumlah penambahan lahan di luar Pulau Jawa. Ter- lebih lagi, kualitas lahan di luar Pulau Jawa belum sebaik yang terdapat di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa terdapat penurunan luas lahan (sawah) yang cukup drastis, ditambah oleh pergeseran status petani, penguasaan lahan dan adanya migrasi profesi.

Erwin menjelaskan, saat ini luas nasional lahan baku sawah berdasarkan Surat Keputusan Menteri ATR/BPN No.686SK_PG-03_03-XII-2019 adalah 7.463.948 Ha. Oleh sebab itu, pemerintah mengambil sejumlah langkah dalam upaya meminimalisir alih fungsi.

Pertama, mendorong penetapan Peraturan Daerah tentang LP2B dan dituangkan dalam pola tataruang (RTRW) masing-masing daerah.

Kedua, upaya dari pemerintah untuk memberikan insentif bagi lahan-lahan yang sudah menetapkan Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Ketiga, keputusan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi sektor pertanian tahun anggaran 2021

Keempat, membatasi konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai fungsi lingkungan tinggi.

Kelima, mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan yang kurang produktif.

Keenam, membatasi luas lahan yang dapat dikonversi di setiap kabupaten/ kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri.

Selain itu, menurutnya, pihaknya terus berupaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian Indonesia. Dengan pemanfaatan lahan-lahan marginal dan lahan-lahan terlantar yang tidak dikelola atau dimanfaatkan kembali bisa menjadi alternatif pembukaan areal lahan pertanian baru.

"Optimalisasi lahan berdampak lang-sung pada peningkatan indeks pertana- man dan produktivitas hasil pertanian, dimana hal tersebut menjadi salah satu tolak ukur peningkatan produksi untuk pemenuhan konsumsi pangan dalam negeri yang secara langsung mendukung ketahanan pangan," jelasnya.

Dirinya menjelaskan, berdasarkan direktif Presiden Joko Widodo guna mewujudkan kemandirian pangan, saat ini pemerintah sedang giat mengembangkan Kawasan Food Estate di Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan sebagai upaya penumbuhan lumbung pangan dan bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

“Pengembangan Kawasan food estate merupakan program jangka panjang berupa upaya penyediaan lahan baru dan merehabilitasi lahan yang ada dengan meningkatkan sarana untuk mendukung produktivitas lahan, terutama dari sisi pengairan dan drainase pada lahan rawa," ungkapnya.

Erwin menyebutkan, sebagai upaya untuk mengimbangi laju alih fungsi lahan pemerintah daerah harus berkomitmen untuk mendukung program perluasan lahan pertanian. Sebagai contoh kegiatan ekstensifikasi pada kawasan food estate Provinsi Kalimantan Tengah yang saat ini dalam proses penyelesaian konstruksi fisik.

Diakuinya, Pemerintah Daerah (Pemda) telah banyak menetapkan Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (K/LP2B) di dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Selain itu ada pula Pemerintah Daerah/Kota yang menetapkan Perda LP2B tersendiri. Begitu juga di tingkat provinsi, norma K/LP2B juga ditetapkan dalam Perda RTRW.

"Sampai dengan Oktober 2021 sedikitnya sudah 263 Kabupaten/Kota yang menetapkan K/LP2B di dalam Perda RTRW dan 138 kabupaten/kota menetapkan Perda LP2B tersendiri,” tegasnya.

Untuk tingkat provinsi, Erwin menyebutkan 18 provinsi telah menetapkan norma K/LP2B dalam Perda RTRW. Sedangkan 18 provinsi telah menerbitkan Perda LP2B tersendiri.

Baginya, jika pemerintah kabupaten/ kota menyusun dan menerbitkan Perda PLP2B, diharapkan mengakomodir muatan lokal dan operasional yang disesuaikan dengan kebutuhan provinsi, kabupaten dan kota yang bersangkutan.

Menurut dia, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.

“Apresiasi komitmen terhadap penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan kami sampaikan kepada semua pihak. Ini penting karena Pemda sudah mengupayakan Penetapan LP2B,” tegasnya.

Erwin mengungkapkan, perlindungan LP2B tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor pertanian, tetapi hal ini merupakan tanggung jawab bersama. Baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan.

Terkait dengan pengaturan jaminan ketersediaan pangan juga sudah diun dangkan melalui Undang-undang Nomor 41 tahun 2009, beserta turunannya.

Dia mengatakan, salah satu amanat mendasar dari UU No. 41 Tahun 2009 adalah LP2B dalam Perda RTRW dan/atau RDTR Kabupaten/Kota.

“LP2B sesuai amanat UU No. 41 Tahun 2009 dan turunannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota yang dituangkan dalam Perda Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Provinsi maupun Kabupaten/Kota,” jelasnya.

Dirinya berharap, semua daerah bisa menetapkan lahan pertaniannya sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Karena dengan adanya penetapan tersebut, alih fungsi lahan dapat terkendali

"Tantangan terberat adalah maraknya alih fungsi lahan pertanian, dimana masih banyak lahan-lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi menjadi sasaran aktivitas alih fungsi lahan ke non pertanian," urainya.

"Jika petani tidak bisa bertani, maka akan mengancam ketahanan pangan, kebutuhan pangan tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri. Untuk itu alih fungsi lahan harus dikendalikan," pungkasnya. (TN)