Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (RI) telah disetujui dalam pembicaraan Tingkat II atau Rapat Paripurna. Wakil Ketua Komisi III DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU Kejaksaan Adies Kadir dalam laporannya di hadapan Rapat Paripurna DPR RI menjelaskan RUU tersebut memuat delapan penyempurnaan substansi, redaksi, maupun teknis perundang-undangan terkait Kejaksaan.
“Pertama, terkait usia pengangkatan dan usia pemberhentian jaksa dengan hormat. Panja RUU menyepakati perubahan syarat usia menjadi jaksa menjadi berumur paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun. Selain itu, Panja juga menyepakati perubahan batas usia pemberhentian jaksa dengan hormat diubah pada Pasal 12 UU tersebut, yang semula 62 tahun menjadi 60 tahun,” jelas Adies saat membacakan Laporan Komisi III DPR RI RUU tentang RUU Kejaksaan RI, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (7/12/2021).
Kedua, terkait penegasan adanya Lembaga Pendidikan Khusus Kejaksaan. Adies menjelaskan lembaga pendidikan khusus tersebut dalam rangka penguatan SDM Kejaksaan dalam rangka untuk meningkatkan profesionalisme Kejaksaan. Selain itu, lembaga pendidikan khusus ini juga berfungsi sebagai sarana pengembangan pendidikan di bidang profesi, akademik, keahlian, dan kedinasan.
“Ketiga, terkait penugasan jaksa pada instansi lain selain pada Kejaksaan RI. Penugasan pada instansi lain merupakan pengalaman yang bermanfaat untuk menambah wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan suasana baru bagi Jaksa yang ditugaskan,” tambah Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI ini.
Keempat, masih kata Adies, terkait perlindungan jaksa dan keluarganya. Menurut Adies, jaksa dan keluarganya merupakan pihak yang rentan menjadi objek ancaman dalam pelaksanaan tugas jaksa. Oleh karena itu, dibutuhkan penyesuaian standar perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya di Indonesia sesuai dengan standar profesi jaksa yang diatur dalam United Nation Guidliness on the Role of Prosecutors dan IAP. “Hal tersebut juga mengingat Indonesia telah bergabung menjadi anggota IAP sejak tahun 2006,” tambahnya.
Kelima, terkait kedudukan Jaksa Agung sebagai pengacara negara dan kuasa hukum penanganan perkara di Mahkamah Konstitusi. Adies menggarisbawahi bahwa perluasan kedudukan Jaksa Agung sebagai kuasa hukum penanganan perkara di MK bersama-sama dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan/atau menteri lain yang ditunjuk oleh presiden.
Keenam, terkait perbaikan ketentuan pemberhentian Jaksa Agung. Dalam ketentuan ini, disebutkan bahwa Jaksa Agung diberhentikan sesuai dengan berakhirnya masa jabatan Presiden RI dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet. Hal ini, menurut Adies, untuk menegaskan bahwa Presiden RI memiliki diskresi dalam menentukan siapa saja yang akan memperkuat kabinetnya, salah satunya adalah Jaksa Agung. “Jaksa Agung juga dapat diberhentikan karena melanggar larangan rangkap jabatan,” ujar Adies.
Ketujuh, lanjut Adies, terkait tugas dan wewenang Jaksa. Dalam UU ini antara lain terdapat penambahan kewenangan, seperti pemulihan aset, kewenangan bidang intelijen, penyelenggaraan kesehatan yustisial kejaksaan, melakukan mediasi penal, melakukan sita eksekusi, dan melakukan penyadapan berdasarkan UU khusus yang mengatur mengenai penyadapan.
Terakhir, tandas Adies, terkait tugas dan wewenang Jaksa Agung. Penyempurnaan ini tugas dan wewenang ini merupakan penyesuaian dengan kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan RI yang lebih profesional. “Hal tersebut untuk menjamin kedudukan dan peran Kejaksaan RI dalam melaksanakan kekuasaan negara, terutama di bidang penuntutan,” tutup legislator dapil Jawa Timur I itu. (rdn/sf)