Di hadapan para kepala negara yang berkumpul dalam pertemuan puncak KTT ASEAN ke 34, Presiden Joko Widodo mengingatkan penyelesaian masalah Rakhine State. Kekerasan terus terjadi.
Presiden Joko Widodo mengingatkan pentingnya penyelesaian masalah keamanan di Rakhine State. Hal itu diungkapkannya dalam pertemuan retreat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-34 di Hotel Athenee, Bangkok, Thailand.
"Saya ingin bicara [isu Rakhine State] sebagai satu keluarga, berterus terang, untuk kebaikan kita semua,” kata Jokowi dalam pertemuan yang di gelar pada Minggu (23/6).
Dalam pertemuan tersebut Presiden Jokowi juga mengingatkan, Pemimpin ASEAN telah memberikan mandat ke AHA Centre untuk melakukan needs assessment guna membantu Myanmar mempersiapkan repatriasi yang sukarela, aman, dan bermartabat. Mandat tersebut pun sudah dijalankan melalui pelaksanaan Preliminary Needs Assessment (PNA) tim ke Rakhine State. PNA sudah menyampaikan laporan dari pelaksanaan mandatnya.
Dengan laporan PNA itu, Jokowi menyampaikan beberapa pandangannya. Dia berpendapat, rekomendasi laporan PNA harus ditindaklanjuti.
"Saya berharap bahwa High Level Committee dapat segera membuat plan of action dengan time frame yang jelas,” kata Jokowi dalam keterangan tertulis yang diterima TrustNews.
Jokowi juga menambahkan, tindak lanjut atas rekomendasi tersebut akan membantu terciptanya kemajuan dalam persiapan repatriasi.
Selanjutnya, Jokowi berpendapat, kunci pelaksanaan repatriasi adalah isu keamanan. "Kita semua prihatin terhadap situasi keamanan di Rakhine State yang belum membaik,” katanya.
Karena itu dirinya berharap, pemerintah dan otoritas Myanmar dapat terus secara maksimal mengupayakan pemulihan keamanan. Pasalnya, tanpa jaminan keamanan, tidak akan mungkin terjadi repatriasi.
Jokowi menyarankan ASEAN dapat membantu membangun komunikasi dengan Bangladesh dan pengungsi di Cox's Bazar dengan tetap menghormati proses komunikasi bilateral Myanmar-Bangladesh. Menurutnya, komunikasi yang baik antara Myanmar, Bangladesh dan para pengungsi menjadi bagian penting bagi kesuksesan persiapan repatriasi.
Jalan damai Rakhine State sangatlah terjal. Kekerasan demi kekerasan yang menjurus pembersihan etnis terhadap rakyat Rohingya di Rakhine State dilakukan pemerintah Myanmar.
Badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) pada Februari lalu, mengaku tidak bisa menilai skala situasi kemanusiaan saat ini di daerah-daerah yang bergejolak di Negara Bagian Chin dan Rakhine karena tidak punya akses ke daerah-daerah itu dan daerah lain di Myanmar.
UNHCR mengatakan, laporan yang diterima dari situasi keamanan yang memburuk di kedua negara bagian itu sangat mengkhawatirkan. Namun, tidak tahu berapa banyak orang yang telah meninggalkan rumah dan menjadi pengungsi di dalam negeri sendiri sejak kekerasan berkobar Desember lalu.
Selain itu, di negara bagian Rakhine, juru bicara UNHCR Andrej Mahecic mengatakan sejumlah Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh untuk mencari suaka.
"Yang kami ketahui dari beberapa laporan, sekitar 200 orang mencari perlindungan dan keselamatan. Ini dilaporkan di daerah yang sangat terpencil di mana kami benar-benar tidak memiliki akses," ujarnya.
Sudah lebih dari 720 ribu pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus 2017 guna menghindari penganiayaan dan kekerasan di Myanmar. Karena krisis pengungsi sebelumnya di Myanmar, Bangladesh saat ini menjadi tempat tinggal bagi hampir satu juta pengungsi Rohingya.
Rakhine State menjadi perhatian global, setelah sekitar 730 ribu etnis Rohingya Muslim menyeberang ke Bangladesh. Mereka berupaya melarikan diri dari penumpasan militer pada 2017. Penyelidik PBB menyerukan perwira militer senior dituntut atas tuduhan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran geng. Namun, militer membantah melakukan kesalahan tersebut.
UNHCR memuji kemurahan hati negara itu dan memohon pihak berwenang agar terus mengizinkan orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar untuk berlindung di Bangladesh.
Mayoritas penduduk Myanmar, dulu dikenal sebagai Birma, beragama Budha. Negara itu memiliki sejarah panjang ketegangan dengan etnis minoritas, sebagian besar atas dasar agama.
Chin adalah satu-satunya negara bagian di Myanmar yang mayoritas penduduknya Kristen. Negara bagian itu juga wilayah termiskin dan paling tidak berkembang di negara itu.
Populasi besar Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine terus mengalami diskriminasi dan penindasan dari komunitas Budha yang mayoritas.
Meski telah tinggal selama beberapa generasi, orang-orang Rohingya tidak diakui sebagai warga Myanmar dan tetap tanpa kewarganegaraan.
Dalam literatur sejarah, etnis Rohingya pada mulanya terbentuk karena alasan politik pada abad ke 9-10 yang kala itu sudah menempati wilayah Rakhine state.
Bersamaan dengan masa kolonialisme, penduduk Muslim yang berada di Bangladesh pun dipindahkan ke Rakhine state yang selanjutnya oleh militer Myanmar diberikan panggilan atau sebutan khusus yaitu sebagai Muslim "Bengali-ethnic origin".
Dengan kata lain, etnis Rohingya merupakan hasil bentukan pemerintah Myanmar yang memberikan nama sebutan tersebut kepada warga muslim asal Bengali.
Kekerasan yang menimpa etnis Rohingya kian memanaskan warga dunia, ketika isu sentimen agama mencuat kepermukaan. Ini didasari dalam konflik di Rakhine state tidak lepas dari situasi mayoritas penduduk Myanmar yang beragama Budha, sedangkan yang diserang dan menjadi korban ialah etnis minoritas beragama Islam. Padahal akar permasalahan utamanya masalah pluralisme, perbatasan dan kewarganegaraan.
Akibat terus-menerus dimarjinalkan dalam tiga aspek tersebut, menyebabkan masyarakat Rohingya berinisiatif membuat gerakan yang menginginkan Rakhine menjadi sebuah negera mandiri.
Sebuah salinan dari laporan “ASEAN Preliminary Needs Assessment for Repatriation in Rakhine State” oleh Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan untuk Pengelolaan Bencana ASEAN (AHA Centre) dan Tim Penilai dan Tanggapan Darurat (ASEAN-ERAT) bocor ke media Pada 7 Juni 2019.
Draf laporan itu mengabaikan akar penyebab mengapa ratusan ribu warga Rohingya terpaksa mengungsi dari kampung halaman mereka, termasuk aneka aksi kekejaman yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar dan para militer serta diskriminasi yang terlembagakan yang diterapkan oleh otoritas Myanmar terhadap minoritas di Negara Bagian Rakhine selama puluhan tahun.
Lebih jauh, draf laporan tersebut gagal menyebut kata "Rohingya", alih-alih menyebut komunitas ini sebagai "Muslim"."Kecuali kalau diambil langkah-langkah konkrit menuju akuntabilitas internasional bagi genosida, kejahatan terhadap HAM dan kejahatan perang, impunitas yang berlangsung terus akan semakin memberanikan militer Myanmar berbuat lebih banyak kekejaman semacam itu, dan setiap pengungsi yang kembali akan rentan terhadap kekejaman yang sama yang membuat mereka dulu mengungsi; ini seperti mengirim mereka kembali ke ladang pembantaian untuk dijadikan korban-ulang," kata Ketua Dewan Penasihat Progressive Voice Khin Ohmar.
Jalan penyelesaian Rakhine State itulah yang dimintakan langsung Presiden Joko Widodo dihadapan para pemimpin negara-negara Asean dalam pertemuan puncak ASEAN ke-34.(TN)