Jawa Barat tercatat provinsi nomor satu penyumbang ekspor migas terbesar nasional. Namun bukan berarti tanpa masalah.
Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Barat berkomitmen mendorong pertumbuhan ekspor tiga sektor yang menjadi primadona. Ketiga sektor tersebut, yakni sektor komoditas pertanian, industri kreatif dan industri maritim (makanan beku).
"DPD GPEI Jabar empat tahun ke depan akan lebih konsen mendorong pertumbuhan ekpor industri-industri strategis lebih bernilai tambah. Seperti industri agro, industri maritim dan industri kreatif," ujar Abdul Sobur, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) GPEI Jawa Barat, menjawab TrustNews.
Apalagi diketahui, untuk ekspor non migas, Jawa Barat tercatat provinsi nomor satu penyumbang ekspor terbesar nasional, baik semester I/2021 maupun semester III/2021.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Jabar mencapai US$ 16,08 miliar atau 15,63% dari total ekspor nasional. Sedangkan pada semester III/2021, Januari-September 2021, nilai ekspor Jabar mencapai US$24,67 miliar atau 15,02 persen dari total ekspor nasional US$164.287 miliar.
Dia pun menyebut industri agro, sejauh ini ekspor produk pertanian dan perkebunan Jabar masih yang tertinggi di Indonesia. Teh, misalnya, sepanjang 2020 produksi teh Jabar mencapai 96,3 ribu ton atau 69,15 persen dari total produksi teh nasional.
"Luas areal perkebunan teh di Jabar itu mencapai 92,8 hektare atau 77,8 persen dari total perkebunan teh nasional," ungkapnya.
Dia pun menyebut sejumlah komoditas agro unggulan Jabar, mulai dari kopi, coklat, hingga minyak minyak atsiri.
Khusus minyak Atsiri, disebutkannya, Jawa Barat merupakan provinsi penyumbang ekspor minyak atsiri terbesar dengan nilai sebesar US$ 68,92 juta setara 31,9% total ekspor minyak atsiri Indonesia.
Sebagaimana diketahui, minyak atsiri dibutuhkan untuk keperluan produksi medis (farmasi, nutraceuticals), makanan dan minuman (produksi roti, permen, permen, produk susu, dll), daging, unggas, makanan laut, makanan ringan, spa dan relaksasi, aroma terapi, minyak pijat, perawatan pribadi, kosmetik, perawatan kulit, riasan dan kosmetik cahaya.
Selain itu, Atsiri juga dipakai untuk perawatan berjemur cahaya matahari, perlengkapan mandi (sabun, shampoo), perawatan pria, perawatan mulut, perawatan bayi, wewangian, parfum, semprotan tubuh, penyegar udara, membersihkan rumah, membersihkan dapur, membersihkan lantai, membersihkan kamar mandi dan membersihkan kain.
Begitu.juga sektor industri kreatif, dimana sepertiga ekspor yang terkait de- ngan ekonomi kreatif itu datang dari tanah Jawa Barat. Sebab itulah, Abdul Sobur melihat susah waktunya Jabar sebagai lokus terdepan basis produksi industri kreatif nasional. Mengingat Jabar memiliki dua pusat pertumbuhan ekonomi baru, yaitu kawasan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Majalengka dan kawasan Pelabuhan Patimban, Kabupaten Subang. Dengan adanya Pelabuhan Patimban,
kata Abdul Sobur, akan terbangun kawasan pertumbuhan ekonomi baru yang dikenal dengan Segitiga Emas Rebana, yakni kawasan Pelabuhan Patimban, Bandara Kertajati, kawasan di Cirebon, Bekasi, Karawang, dan Purwakarta sebagai sebuah kawasan industri raksasa.
"Sektor industri kreatif itu banyak. Seperti mebel, kerajinan, fashion dan lainnya yang justru sudah menjadi basis di Jabar," ungkapnya.
Meski nilai ekspor terus meningkat, menurut Abdul Sobur, bukan berarti kegiatan ekspor tanpa masalah. Baginya, kegiatan perdagangan internasional merupakan salah satu sektor utama penggerak perekonomian nasional dan pendukung kegiatan pembangunan nasional di bidang ekonomi. Hal yang menjadi prioritas dalam kegiatan perdagangan internasional tersebut adalah pengembangan ekspor non migas dan pengelolaan impor yang efektif.
Dengan mewabahnya Pandemi Covid-19 membuat banyak negara mengalami pelemahan ekonomi dan perdagangan termasuk perdagangan internasional, tak terkecuali Indonesia, yang pada akhirnya berimbas juga ke Jawa Barat. "Bukan hanya persoalam di Jabar saja, masalah logistik itu merata di seluruh dunia," ujarnya.
"Pemerintah pusat sendiri belum bisa menjawab persoalan-persoalan yang ada di logistik, yakni kelangkaan kontainer dan membengkaknya ongkos pengiriman barang. Keduanya ini saling mempengaruhi," tambahnya.
Untuk memutus masalah tersebut, menurutnya, pemerintah pusat harus mengambil kebijakan yang 'radikal'. Yakni mempercepat pembangunan infrastruktur tidak saja terfokus di darat tapi juga laut.
"Kenapa tidak mengambil kebijakan memperkuat tol laut dengan membeli 10 kapal laut. Kalau satu kapal itu Rp3 triliun, baru menghabiskan Rp30triliun. Saya rasa jauh lebih murah sekian puluh persen dari anggaran untuk infrastuktur darat," pungkasnya. (TN)