Ekspor penting, namun jauh lebih penting membangun industri pengolahan kelapa. Kebutuhannya mencapai tiga juta butir kelapa per hari.
Bagai makan buah simalakama, begitulah kondisi komoditas kelapa di tanah air. Ekspor kelapa dan produk turunannya dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan dan memberikan sumbangan devisa yang terbilang besar.
Tercatat, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2013 ekspor kelapa mencapai USD 793,3 juta. Sedangkan di tahun 2017, terdapat peningkatan yang signifikan menjadi USD 1,4 milyar (14,1 triliun rupiah) atau meningkat sebesar 43%.
Hanya saja, di sisi lain, pengusaha produk olahan kelapa justru ‘menjerit’ hingga meminta agar pemerintah melakukan moratorium ekspor kelapa segar, untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kelapa di dalam negeri.
Begitu juga sebaliknya. Saat ekspor buah kelapa menurun, giliran pengusaha produk olahan kelapa yang 'kewalahan' untuk menyerap karena sudah melewati batas kebutuhan. Sedangkan petani kelapa yang 'menjerit' akibat harga jualnya anjlok.
Tengok saja, pabrik pengolahan buah kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, dalam tiga tahun terakhir hanya mendapat pasokan 800 ribu butir kelapa per hari dari total kebutuhan sebanyak dua juta butir kelapa. Namun kondisinya saat ini, pabrik pengolahan tersebut ‘kebanjiran’ penawaran sebesar lima juta butir per harinya.
Kondisi serupa juga terjadi di Maluku, Ternate, Sulawesi Utara dan beberapa daerah sentra produksi kopra. Anjloknya harga kopra berujung demo dengan tuntutan kestabilan harga kopra.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kemenperin Enny Ratnaningtyas mengatakan, selama ini para petani kopra hanya mengejar kuantitas untuk memenuhi kebutuhan ekspor, namun mengabaikan penanaman kembali (replanting) sehingga kualitas kopra yang dihasilkan tidak sesuai standar.
“Terlambat melakukan penanaman kembali karena petani fokus mengejar ekspor. Pada saat yang bersamaan kawasan perkebunan kelapa di Filipina hancur akibat bencana alam, secara otomatis mereka melakukan penanaman kembali dan menghasilkan pohon-pohon kelapa baru yang buahnya memenuhi standar permintaan pasar,” ujarnya kepada TrustNews.
Selain itu, orientasi ekspor, lanjutnya, menyebabkan kebutuhan untuk industri makanan dan minuman dalam negeri tidak memiliki nilai tambah bagi nilai ekspor.
“Dalam kurun waktu tertentu memang memberikan keuntungan terhadap petani, namun tidak memberikan nilai tambah, apabila terlebih dahulu diolah di dalam negeri menjadi berbagai bentuk jadi seperti santan, minyak kelapa atau makanan dan minuman akan memberi nilai lebih,” ucapnya.
Hal lain yang perlu dibenahi, lanjut Enny yang dilantik sebagai Direktur Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan Kemenperin pada September 2017 lalu ini, terkait dengan pengelolaan yang selama ini menggunakan pola perkebunan rakyat, sudah waktunya dikelola secara profesional melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bekerja sama mendirikan pabrik pengolahan kelapa.
“Seperti kelapa sawit dikelola perusahaan pengolahan, bisa juga Pemda membuat BUMD khusus kelapa. Jangan industrinya yang didemo untuk membeli dengan harga mahal, di bagian hulu harganya fluktuatif makanya kami dorong untuk ke hilirisasi yang lebih stabil harganya,” paparnya memberi solusi.
Dengan kata lain, baginya, sudah waktunya bagi para petani kelapa untuk melihat peluang besar yang ada di dalam negeri. Industri pengolahan di dalam negeri bisa menyerap dua juta hingga tiga juta butir kelapa per hari, kondisi ini tentu jauh menguntungkan bagi petani secara kontinuitas.
“Pasar ekspor memang penting, namun sifatnya per periodik bisa naik dan bisa pula turun tingkat permintaannya. Industri dalam negeri kebutuhannya jauh lebih besar hingga 3 juta butir per hari dan sifatnya kontinu, pertanyaannya mana yang lebih memberikan keuntungan?” pungkasnya. (TN)