Kemenangan tak terduga Partai Konservatif Australia menjadi mimpi buruk pengungsi di Pulau Manus. Akankah lebih lunak?
"Saya selalu percaya pada mukjizat," ucap Perdana Menteri Scott Morrison dalam pidato kemenangan Partai Koalisi yang dipimpinnya dalam pemilihan umum federal Australia yang digelar Sabtu (18/5/2019).
Sementara di ribuan kilometer di sebelah timur laut Australia, di balik Negara Papua Nugini, tepatnya di Pulau Manus, berita kemenangan itu menjadi mimpi buruk bagi para pengungsi.
AFP melansir, Selasa (21/5/2019), Hasil mengejutkan Pemilu federal Australia itu juga memicu gelombang aksi melukai diri sendiri di kalangan pengungsi, dengan beberapa di antaranya sampai harus dirawat di rumah sakit.
"Saya tahu bahwa banyak orang di Australia saat ini terkejut dan sedih dan marah karena hasil Pemilu," ujar penulis terkemuka dari Kurdi yang juga pencari suaka, Behrouz Boochani, kepada AFP.
"Bayangkan jika Anda tidak bisa membandingkan ini dengan orang-orang di Manus, nyawa kami bergantung pada pemilu," ucap Boochani dari Pulau Manus.
Disebutkan Boochani bahwa sembilan orang melakukan upaya bunuh diri sejak hasil Pemilu federal mengejutkan banyak pengungsi di pulau terpencil tersebut. "Situasinya tidak terkendali. Saya tidak pernah melihat Manus seperti ini sebelumnya," tuturnya.
Seorang pencari suaka di Manus, Abdul Aziz Muhamat, menyatakan tidak ada dukungan medis yang memadai bagi orang-orang yang melukai diri mereka, di tengah meningkatnya jumlah upaya bunuh diri.
Komandan Kepolisian Provinsi Manus, David Yapu, menuturkan kepada AFP bahwa sedikitnya 10 upaya bunuh diri terjadi akhir pekan. "Ini menjadi masalah yang sedang kami hadapi sekarang," ucapnya.
"Pada akhir pekan, kami mendapati upaya pembakaran kamar-kamar mereka dan sekarang kami mendapati beberapa orang tidak mau makan," imbuh Yapu.
Departemen Urusan Dalam Negeri Australia belum menanggapi insiden ini. Namun Partai Buruh, oposisi pemerintahan PM Morrison, menyatakan bahwa mereka terbuka pada tawaran Selandia Baru untuk menampung para pengungsi yang kini ada di Manus dan Nauru.
Bagi para pengungsi, PM Morisson merupakan sosok yang menakutkan atas kebijakan kontroversial yang dibuatnya semasa menjabat sebagai Menteri Imigrasi, “Hentikan kapal itu”. Sebuah kebijakan yang mencegah pencari suaka untuk memasuki Australia dengan perahu.
“Operasi Perbatasan Kedaulatan” ala Morisson yang diterapkan tahun 2013 ini membuat para ‘manusia perahu’ dari seluruh dunia untuk dikembalikan ke negara asal atau ditempatkan ke kamp terpencil di pulau Pasifik, yakni Pulau Manus.
Bahkan Pemerintah Australia yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Tony Abbott mengklaim, 11 bulan Operasi Perbatasan Kedaulatan berjalan tidak ada perahu illegal yang berhasil masuk untuk menyelundupkan manusia.
Pencarian suaka yang mengharapkan nasib baik di negara baru, justru menjadi cerita kelam sejak kebijakan tersebut ditetapkan. Kisah pilu para pengungsi Manus diungkap The Guardian, Rabu (10/8/2016), setelah dua tahun kebijakan tersebut berjalan.
Pelecehan, kekerasan dan penganiayaan terhadap ratusan pengungsi itu pun kemudian bocor. Sebanyak 2.116 laporan diungkap satu tim jurnalis dengan alasan, warga Australia harus tahu bahwa 1,2 miliar dolar Australia yang berasal dari pajak mereka, digunakan untuk menahan para pengungsi di Manus dan Nauru dengan cara yang tak berperikemanusiaan. Dari 2.116 laporan, 51,3 persen atau 1.086 kasus melibatkan anak-anak, meski hanya 18 persen dari anak-anak pengungsi yang berada dalam penahanan.
Akibat kebijakan ini, jurnalis DW menurunkan laporan, “Potret Muram Kebijakan Pengungsi Australia” pada Juli 2018, Australia membayar uang ganti rugi sebesar US 68 juta kepada lebih dari 1.905 pengungsi yang menguggat buruknya kondisi hidup di Papua Nugini. Pengalaman serupa dialami oleh Aziz yang ditahan sejak 2013. "Anda mengirimkan orang ke sebuah tempat dan anda ingin agar orang ini mati atau pulang ke negara asalnya, meski sangat berbahaya," ujarnya.
Aziz mengklaim suasana muram membekap kamp pengungsi menyusul ketidakpastian dan kekhawatiran terhadap meningkatnya sikap permusuhan warga pribumi terhadap keberadaan mereka.
Daniel Webb, Direktur Human Rights Law Centre di Australia, mengecam praktik kejam pemerintah terhadap pengungsi. Ia melaporkan populasi pengungsi di Nauru mencakup 134 anak-anak, 40 di antaranya dilahirkan di sana. Angka populasi anak di kamp pengungsi Nauru berkurang menjadi 124 pekan ini, karena sebagian dikirimkan ke Australia untuk perawatan medis, sementara yang lain disiapkan untuk dipindahkan ke Amerika Serikat.
"Dengan setiap ulang tahun, setiap peringatan dan setiap kematian, rasa putus asa dan rasa lelah di penjara pulau ini meningkat," kata Webb. "Pemerintah Australia tidak bisa memenjarakan mereka selamanya."
Sejumlah pakar lain menilai politisasi isu pengungsi di Australia berdampak negatif pada nasib para pencari suaka. Meski gelombang pengungsi kapal sudah berhenti ada 2014 silam, dukungan masyarakat terhadap kebijakan ketat pemerintah terkait pengungsi masih tergolong tinggi.
Andrew Markus, pakar pengungsi dari Monash University, mengatakan dirinya tidak yakin pemindahan pengungsi dari Papua Nugini atau Nauru ke Australia akan bisa terwujud secara politis. "Mereka benar-benar menyudutkan posisi sendiri," ujarnya mengenai janji pemerintah bahwa pengungsi yang datang dengan kapal tidak akan pernah diterima di Australia.
Sementara di Australia, dalam pidato kemenangannya, Morrisson mengatakan, "Malam ini adalah tentang setiap orang Australia yang bergantung pada pemerintah mereka untuk mengutamakan mereka."
Dia pun melanjutkan, "Kita akan kembali bekerja untuk orang Australia yang kita tahu juga pergi bekerja setiap hari, yang menghadapi perjuangan dan cobaan itu setiap hari."(TN)