trustnews.id

Dulu Tertinggal, Kini Berkilau
Pupuk organik olahan Desa Kempas

Dulu Tertinggal, Kini Berkilau

DAERAH Senin, 01 Juli 2019 - 08:05 WIB TN

Desa miskin dan tertinggal berubah menjadi desa maju dan mandiri. Kejelian mengolah potensi dengan menggunakan dana desa.

Berkah dana desa itu dirasakan betul oleh masyarakat Desa Dataran Kempas. Sebuah desa di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, itu masih terbilang belia, sejak menjadi desa definitif pada tahun 2012. Meski terbilang belia, Desa Kempas tak bisa dipandang sebelah mata. Penghasilan penduduknya mulai dari Rp2.500.000 hingga Rp8.000.000 per bulan dari hasil mengolah kotoran sapi menjadi pupuk kompos. 
"Sekarang penghasilan masyarakat Desa Dataran Kempas berkisar antara Rp2,5-8 juta per KK. Kemudian sekarang hanya tinggal 8 KK yang kategori miskin," ujar Bupati Tanjung Jabung Barat Safrial bangga.
Keberhasilan Desa Dataran Kempas berkat kreativitas warganya dalam mengolah dana desa dengan mengembangkan Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades) berupa pupuk organik sejak tahun 2016. 
Desa yang awalnya masuk kategori tertinggal tersebut kini hanya memiliki jumlah keluarga miskin sebanyak 8 kepala keluarga (KK) saja. Prukades tersebut, lanjutnya, dikelola oleh kelompok usaha tani dan diakomodir oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Pada tahun 2018, Desa Dataran Kempas mampu memproduksi pupuk kompos sebanyak 12.000 ton, senilai Rp13.620.000.000 dan mampu menyerap tenaga kerja berjumlah 262 orang dengan gaji rata-rata Rp2.500.000 per orangnya. Dengan penghasilan sebesar itu, membuat desa tersebut cepat keluar dari statusnya sebagai desa tertinggal.
"Ini sebagian besar mereka mengembangkan Prukades menggunakan dana desa. Makanya saya katakan ke desa, yang penting ada Perdes-nya (peraturan desa). Nanti keuntungan dari pengembangan Prukades itu berapa persen dikembalikan ke desa, berapa persen dikembalikan ke BUMDes. Itu sudah terjadi di Desa Dataran Kempas dan Purwodadi. Jadi dana desa cukup membantu sekali," paparnya. 
Dengan keberadaan Prukades memudahkan untuk menjalin kerjasama dengan pihak swasta, yakni PT WKS selaku perusahaan dari Sinar Mas Group. Perusahaan ini bertindak sebagai off taker sekaligus pendamping bagi pengembangan Prukades pupuk organik
"Suplai pupuk kita ke Sinar Mas Group. CSR dari perusahaan itu juga digunakan untuk pelatihan-pelatihan di samping dari dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)," tuturnya. 
Kisah manis lainnya, ditorehkan Desa Pujon Kidul, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang dalam mengelola dana desa dengan mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk mengelola kawasan wisata.
Hasilnya, BUMDes yang dikelola Kepala Desa Pujon Kidul Udi Hartoko itu berhasil meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) hingga lebih dari Rp1,3 miliar pada tahun 2018. Padahal sebelumnya, PADes Pujon Kidul hanya berkisar Rp30-40 juta per tahun. Tahun ini, ia pun meyakini mampu meraih PADes hingga Rp2,5 miliar. 
"Tahun 2011 saat saya baru menjadi kepala desa, PADes kita hanya berkisar antara Rp 20-30 juta per tahun. Ada peningkatan signifikan ketika kita mulai mengelola dana desa. Kita mendirikan BUMDes, kita manfaatkan potensi, kita gerakkan seluruh masyarakat. Tahun 2017, PADes kita meningkat menjadi Rp162 juta, tahun 2018 Rp 1 miliar lebih, langsung melonjak drastis," ujarnya.
Desa Wisata Pujon Kidul memiliki ragam wahana menarik dengan nuansa asri pedesaan seperti kafe sawah, panen hasil pertanian, memerah susu sapi, kolam renang untuk anak-anak, off road, hingga wisata berkuda. Tak hanya itu, desa wisata ini juga memiliki banyak tempat selfie yang sangat menarik. Wisatawan yang berkunjung pun tak sedikit jumlahnya, rata-rata 3.000 pengunjung saat hari kerja dan 5.000 pengunjung saat hari libur.
"Luas Desa Pujon Kidul 330 hektar. Tanaman masyarakat kita jadikan wisata petik apel, wisata petik sayur, sehingga hasil pertanian warga juga menjadi mahal harganya. Di desa ini juga banyak yang berprofesi sebagai peternak (sapi perah). Kita ingin ada nilai tambah untuk peternak ini. Kemudian kita ingin meningkatkan derajat petani dan peternak. Ketika orang kota datang ke peternak untuk memerah sapi, masyarakat desa bangga karena anak kota belajar dengan masyarakat desa," ujarnya.
Kejelian dalam mengelola dana desa juga dirasakan Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. 10 tahun lalu Desa Kutuh adalah desa miskin. Kepala Desa Kutuh, Wayan Purja mengatakan, berkat dana desa kini desanya maju sejahtera. Bahkan menjadi tujuan wisata dunia.
"Kini tak ada kemiskinan dan pengangguran," ujarnya yang sudah lima kali menerima dana desa yang nilainya mencapai Rp3,5 miliar.
"Kami gunakan dana sesuai alurnya. Salah satunya untuk kawasan olahraga. Terbukti Desa Kutuh, mulai membangun dari nol. Bahkan kami bisa berikan beasiswa pada masyarakat dengan usaha-usaha desa kami," kata dia.
Untuk diketahui, Desa Kutuh sudah mendapatkan 6 kali dana desa sejak 2015, yaitu pada 2015 mendapat kucuran dana desa Rp 290,936 juta, pada 2016 mendapat Rp 639,892 juta, pada 2017 mendapat Rp 848,328 juta, pada 2018 mendapat Rp 784,463 juta, dan Rp 25,55 juta serta pada 2019 mendapat Rp 966,436 juta sehingga total mendapatkan Rp 3,555 miliar.
Dana tersebut, digunakan untuk pengembangan kawasan "sport tourism" Krida Mandala I Ketut Lotri.
Sementara Bendesa Adat Kutuh, Made Wena mengatakan desanya juga memiliki Pantai Pandawa yang selalu ramai dikunjungi. Pada tiga tahun lalu, kawasan pariwisata pantai Pandawa, menjadi destinasi dengan kunjungan terbanyak di tingkat domestik.
Pada 2018, juga mendapatkan juara Indonesia Sustainable Ecosystem Award dari Kementerian Pariwisata dan desa dengan kunjungan wisatawan domestik paling banyak ke-8 pada pada tahun tersebut.
Berkat pembangunan lapangan sepak bola, warga desa bisa meraup keuntungan hingga Rp.14,7 miliar pada tahun 2018. Sedangkan pada tahun ini, pembangunan sarana dan prasarana penunjang standar internasional bakal dibangun.
“Astungkara tahun kemarin kami mendapat laba Rp 14,7 miliar, maka Rp 5 miliar laba untuk percepat proses pembangunan kampong bola internasional,” ujar Bendesa Kutuh, Wayan Wena.
Tidak hanya untuk sepak bola, kawasan wisata di Desa Kutuh juga dimanfaatkan untuk olahraga paralayang yang satu tahunnya bisa menghasilkan Rp 800 juta. 
Soal keberadaan lapangan sepakbola juga menjadi inspirasi Desa/Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, dengan membangun Sarana olahraga rakyat yang diberi nama Lapangan Bola Lodaya Sakti.
Tak main-main, untuk menata lapangan seluas 93 x 54 meter tersebut dengan jenis rumput yang sudah memenuhi standar Federation of International Football Association (FIFA), yakni jenis Zoysia matrella (ZM) yang didatangkan langsung dari Eropa. 
Total dana untuk pembangunan TPT lapangan, perataan tanah, drainase, water sprinkle system, pasir dan pagar, sebesar Rp 1,4 Miliar.
Sedangkan untuk biaya perawatan lapangan, Pemerintah Desa Cisayong mengalokasikan dana sebesar Rp 5 juta per bulan, yang meliputi biaya listrik, penyiraman, pemotongan, dan pemupukan rumput. Proses pembangunannya sendiri masih terus berlanjut termasuk kelengkapan sarana olahraga lainnya seperti jogging track dan tribun lapangan. 
Lapangan ini juga disewakan untuk masyarakat umum, dengan biaya sebesar Rp 500 ribu sekali main.
“Urusan sewa lapangan sementara ini diurus oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) Sakti Lodaya. Lalu, khusus untuk pembinaan generasi muda, baik sekolah sepak bola atau  even turnamen liga akan diurus oleh Sakti Lodaya Foundation," ujar Kepala Desa Cisayong, Yudi Cahyudin.
Ada begitu banyak kisah akan keberhasilan desa keluar dari kemiskinan dan ketertinggalannya menjadi desa maju dan desa mandiri. Tidak mudah memang, namun kreativitas dalam mengolah potensi desa dan penggunaan dana desa yang tepat, bukan tidak mungkin desa-desa yang ada akan mengejar ketertinggalannya dan mengalahkan kota kabupaten atau bahkan provinsi. (TN)