Pengembangan energi terbarukan berjalan lambat. Regulasi menjadi penyebab, keberpihakan pemerintah menjadi kunci.
Presiden Joko Widodo masygul. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tak juga kunjung terealisasi. Enam kali rapat terbatas digelar. Peraturan Presiden (Perpres) 36/2008 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pun sudah ada.
"Oleh sebab itu kita langsung saja menuju ke masalah. Jadi masalahnya apa? Ada yang menyampaikan PLN nya Pak yang lamban. PLN ada? Tinggal nanti langsung saya perintah," ujar Presiden Jokowi dalam rapat terbatas yang juga dihadiri sejumlah gubernur dan walikota, di Kantor Presiden, kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (16/7).
"Ada yang menyampaikan di ESDM nya belum beres. Menteri-nya ada? Sudah, kita selesaikan sore hari ini. Ini bukan urusan listriknya. Yang mau kita selesaikan ini urusan sampahnya. Listrik itu adalah ikutannya," tegasnya.
Jokowi memang telah menginstruksikan kepada 12 kepala daerah untuk mengelola sampah tak terurai menjadi energi listrik dengan membangun PLTSa sebagai bagian dari upaya mengurangi volume sampah.
Namun, masalah perbedaan persepsi antara PLN dan sejumlah daerah mengenai tipping fee membuat implementasi payung hukum tersebut tak berjalan optimal. Hingga saat ini, baru ada 4 daerah yang sudah membangun PLTSa.
Sementara sisanya, mengaku khawatir pembangunan PLTSa bisa berbuntut ke ranah hukum. Menko Luhut pun mengaku geram dengan sikap PLN yang dianggap tak patuh pada payung hukum yang berlaku.
Kemasygulan Presiden Jokowi dalam pandangan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, telah menjadi keluhan sejumlah kalangan selama ini. Ini terkait dengan regulasi yang kurang mendukung pengembangan energi terbarukan.
Dicontohkannya, kebijakan tidak ada kenaikan tarif listrik sampai akhir 2019. Hal ini berarti, biaya produksi listrik akan dikendalikan dan diregulasi walaupun terdapat volatilitas harga energi primer di pasar global.
“Kami coba cek ke lapangan tidak banyak pengembang yang punya akses ke pemasok teknologi, kemampuan finansial dan sumber pembiayaan yang kompetitif (pinjaman dengan bunga rendah) serta yang terkoneksi dengan global supply chain. Kalaupun ada segelintir investor asing dan sedikit perusahaan lokal,” ujar Fabby kepada TrustNews.
Minimnya pengembang, lanjutnya, akan berdampak pada jumlah proyek yang dapat dikembangkan dan nilai investasi yang terjadi. Terbatasnya jumlah proyek dan pengembang akan memperlambat learning curve dari proyek-proyek energi terbarukan. Padahal faktor learning curve ini penting untuk menurunkan biaya investasi dan biaya pembangkitan listrik dari pembangkit energi terbarukan.
"Pemerintah seharusnya menerbitkan regulasi yang mampu mendorong investasi energi terbarukan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, regulasi yang diterbitkan malah menjadi faktor utama yang menghambat investasi energi terbarukan," ujarnya.
Regulasi yang dimaksudkan Fabby, yakni keberpihakan pemerintah terhadap para pengembang lokal kecil dan domestik yang membangun dan mengoperasikan pembangkit-pembangkit skala kecil (dibawah 10 MW) yang selama ini pas-pasan dan terbatas semakin terbebani dengan adanya berbagai regulasi tersebut.
“Mereka punya keterbatasan dalam sektor pendanaan, munculnya Permen ESDM No. 10/2017 tentang Pokok-Pokok Perjanjian dalam Jual Beli Tenaga Listrik, membuat mereka semakin sulit untuk mengakses pendanaan karena meningkatnya tuntutan lembaga keuangan kepada pengembang proyek untuk memiliki kapasitas pendanaan yang lebih besar dalam bentuk ekuitas dan jaminan (collateral),” paparnya.
Fabby pun kemudian berhitung, Indonesia Timur memiliki potensi 200-300 megawatt. artinya ada 30 sampai 50 project skala kecil yang bisa di eksekusi dalam waktu cepat. Bila pemerintah serius dalam energi terbarukan seharusnya pemerintah membantu menyediakan pendanaan dengan bunga yang relatif lebih rendah dibanding suku bunga komersial.
“Upaya tersebut akan mendorong para pengembang untuk tumbuh, ekonomi lokal bergerak dan memberikan percepatan pencapaian 23% target energi terbarukan,” paparnya.
Padahal, pemerintah menargetkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi mencapai 23% pada tahun 2025. Sementara, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, porsi EBT bauran energi di sektor ketenagalistrikan baru mencapai 12,4%.
Tak hanya itu, energi terbarukan juga diharapkan menjadi kontributor utama untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030.
Bagi Fabby untuk mewujudkan target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025, pemerintah harus punya komitmen yang kuat dan konsisten. Harus ada sinergi antara pelaku usaha dan pemangku kepentingan.
“Harus memiliki Komitmen politik dan konsistensi arahan, itu tantangan selama ini. Presiden harus menunjukkan keberpihakan, menteri mengeksekusi secara teknisnya. Lalu ada koordinasi karena energi terbarukan tidak bisa berjalan sendiri, perlu ada dukungan pembiayaan bank, urusan tanah perlu ada urusan BPN, kehutanan dan dukungan kuat dari pihak pemerintah,” ujarnya.
Bagi Fabby, target 23% itu setara dengan kapasitas pembangkit energi terbarukan sebesar 45 GW. Dengan total kapasitas yang mencapai 9 GW saat ini, diperlukan tambahan 36 GW hingga 2025 nanti, atau rata-rata 4,5-5 GW per tahun sejak 2017. Dengan demikian penambahan 0,47 GW per tahun atau 10% dari rata-rata kapasitas tambahan per tahun sesuai target RUEN, bahkan rata-rata 5% sepanjang 2015-2018 menunjukkan bahwa pencapaian pemerintah sesungguhnya tidak berada di jalur yang tepat.
“Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga diharapkan mampu menjaga industri energi ini berkembang pesat sehingga perkembangan ekonomi serta kelestarian lingkungan dapat cepat tercapai,” pungkasnya. (TN)