TRUSTNEWS.ID,. - Seakan tak pernah ada kata usai kampanye negatif perkebunan kelapa sawit Indonesia di benua Eropa. Cara terakhir yang mereka lakukan adalah dengan memberlakukan Undang Undang Anti-Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/EUDR) per 16 Mei 2023.
Regulasi ini memastikan produk yang masuk Uni Eropa berasal dari sumber yang legal dan tidak menyebabkan deforestasi. Setidaknya ada tujuh komoditas yang diatur dalam EUDR tersebut, yaitu sawit, kopi, daging, kayu, kakao, kedelai dan karet.
Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), melihat keberadaan EUDR sebagai bentuk kampanye negatif yang selama ini disuarakan negara-negara barat, terhadap minyak sawit Indonesia.
"Pihak-pihak luar negeri terus membangun persepsi negatif perkebunan kelapa sawit dan produk kelapa sawit. Tidak cukup dengan melakukan kampanye negatif. Tapi juga melakukan beragam hambatan perdagangan langsung dari negara importir," ujar Eddy Martono kepada TrustNews.
"Kampanye negatifnya melulu soal merusak lingkungan, merusak hutan, menyerap banyak air, menyebabkan pemanasan global, merusak lahan gambut, dan minyak yang dihasilkan mengandung lemak," tambahnya.
Menurutnya, stigma negatif terhadap sawit Indonesia yang dilakukan Uni Eropa merupakan trik perang dagang. Karena mereka tidak ingin produk minyak nabati sejenis seperti bunga matahari, kedelai, hingga jagung kalah bersaing dari sawit.
"Kami harapkan kerjasama multistakeholder untuk menghadapi tantangan-tantangan ini. Pemerintah, petani dan bahkan negara produsen kelapa sawit lainnya bisa bersatu menjadi langkah besar untuk menjalankan sebuah grand strategi dalam menghadapi tanganan tersebut," ucapnya.
Ini dikarenakan secara luasan, tambahnya, secara luasan lahan, area kebun sawit jauh lebih kecil dibandingkan lahan komoditas penghasil minyak nabati lainnya. Dari total 277 juta hektare (ha) area lahan tanaman produksi minyak nabati di dunia, total area sawit Indonesia hanya 16 juta hektare lebih rendah dibandingkan luas perkebunan bunga matahari (sunflower) yang totalnya 25 juta hektare, rapeseed 36 juta hektare, kedelai (soybean) 122 juta hektare, dan jagung sebanyak 77 juta hektare.
"Meski secara luasan lebih kecil dibandingkan lahan komoditas penghasil minyak nabati lainnya, namun secara produktivitas minyak nabati dari sawit justru menempati posisi teratas dibandingkan komoditas lainnya, dengan kisaran 65 juta ton," ungkapnya.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara produsen dan eksportir terbesar kelapa sawit di pasar global. Supply kelapa sawit Indonesia di pasar global mencapai 58 persen, sedangkan minyak kelapa sawit sendiri mencapai 40 persen dalam komposisi minyak nabati global.
"Di tengah peningkatan penduduk dunia setiap tahunnya, maka minyak kelapa sawit yang merupakan minyak nabati paling produktif dengan penggunaan lahan paling efisien. Seharusnya menjadi solusi bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat global yang berkelanjutan di masa yang akan datang," tegasnya.
Menurut, Eddy Martono, ini pelaku industri kelapa sawit bukanlah pengusaha saja. Karena jika dilihat dari komposisi maka lebih dari 42 persen merupakan petani kelapa sawit dan selebihnya adalah pengusaha swasta dan BUMN.
'Dari komposisi itu, Maka petani menjadi mitra strategis pengusaha. Kami memiliki banyak pola kemitraan dengan petani baik mandatory maupun voluntary dari masing-masing perusahaan melalui berbagai program. Petani justru merupakan mitra yang menjadi kunci keberhasilan industri sawit termasuk bisnis perusahaan," tegasnya.
"Komitmen kami alam mensejahterakan petani tidak sebatas hubungan transaksi. Namun lebih dari itu, kami berkomitmen dalam mengedukasi tata kelola, management keuangan, legalitas perkebunan petani agar sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku," paparnya.
Ditengah tuntutan keberlanjutan, lanjutnya, menuntut ketelusuran perusahaan dari rantai pasok, untuk itu selain peningkatan produktivitas, aspek keberlanjutan perkebunan petani sebagai supplier pabrik pengelolaan kelapa sawit (PKS) perusahaan juga menjadi sangat penting agar produknya dapat diterima di pasar global.
'Kebun petani (baik plasma maupun swadaya) kini telah memasuki masa peremajaan dengan rata-rata usia tanaman di atas 25 tahun. Terdapat 513 ribu hektar kebun sawit plasma yang tersebar di 15 provinsi dimana sebagian diantaranya adalah petani binaan anggota Gapki yang memerlukan peremajaan," ujarnya.
"Untuk itu, guna mendongkrak produksi nasional yang saat ini masih berada di kisaran 3-4 ton per yang bisa dikatakan masih rendah, maka GAPKI memantapkan komitmen membantu percepatan atau implementasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) melalui berbagai upaya pendampingan," pungkasnya.