TRUSTNEWS.ID,. - Emisi gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari proses pengolahan tandan sawit menjadi crude palm oil (CPO) sebesar 1.296,1 kg CO2eq/Ton CPO yang dihasilkan PKS. Kondisi ini menjadi titik lemah Indonesia dalam melawan kampanye negatif sawit dan minyak kelapa sawit yang disuarakan Amerika dan Eropa.
Sesuai regulasi dari EU, agar CPO bisa menjadi bahan baku Biodiesel untuk tujuan ekspor ke EU, harus diturunkan Emisi GRK dari CPO, dan ini dijalankan oleh beberapa pengusaha kebun sawit yang bersinergi dengan Industri FAME, memasang unit penurun Emisi GRK di PKS, yaitu disebut “Methan Capture”.
Hal yang sama juga dipersyaratkan oleh ICAO (International Commercial Aviation Organization), bila CPO dipakai sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF), emisi GRK CPO harus diturunkan 75% dan harus disertifikasi oleh International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).
Selain menghadapi kampanye negatif, Indonesia juga masih menghadapi tantangan yang semakin besar dalam bentuk hambatan tarif dan non-tarif yang diberlakukan oleh negara-negara pengimpor tertentu. Hambatan non-tarif diterapkan secara diam-diam dengan dalih permasalahan lingkungan dan sosial, yang sangat dirugikan oleh kampanye negatif terhadap minyak sawit.
Sahat Sinaga, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), punya pandangan yang unik terkait keberadaan sawit di Indonesia. Menurutnya, sejak awal tidak ada keseriusan dalam mengelola dan mengurus sawit dan perkebunan sawit di Indonesia. “Ada tidak yang bertanya mengapa hanya sawit yang dinamakan crude oil. Padahal sebutan Crude ini memiliki konotasi yang tidak bagus, kayak minyak comberan,” ujar Sahat Sinaga kepada TrustNews.
“Crude is interior quality berkonotasi sebagai bahan untuk non-makanan, ini perlu jadi perhatian kita semua, bagaimana memperbaiki status/penamaan Crude ini menjadi minyak sawit bernilai tinggi. Timbul pertanyaan, kalau Indonesia tidak melakukan sesuatu, Apakah sawit tahun 2045 itu masih ada atau hilang sama sekali?” tambah Sahat balik bertanya.
Sahat bahkan menyamakan sawit dengan keberadaan rempah-rempah yang membuat Belanda, Inggris dan Portugis datang ke Indonesia. Kedatangan ketiga negara tersebut karena menganggap rempah memiliki nilai yang tinggi, namun kini rempah dianggap tidak lagi bernilai.
“Padahal diam-diam mereka mengolah rempah-rempah tersebut menjadi produk bernilai. Sementara kita justru membiarkannya. Kondisi berbeda pada karet, mereka mengampanyekan karet tidak bernilai. Ini disebabkan kita mengolah karet menjadi produk yang bernilai,” urainya.
Sahat ingin menggambarkan bahwa sawit Indonesia tidak bernilai semata-mata untuk kepentingan bisnis, namun juga mewakili image Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia.
Di tahun 1988 ada dunia barat yang mau menyingkirkan sawit dengan istilah ‘tropical oil poisoning America’, kemudian sejak tahun 2005 sawit menjadi musuh Eropa sejak Eropa launching energi hijau, dengan menggunakan vegetable oil sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
“Waktu itu penjualan minyak sawit (crude palm oil/CPO) begitu meningkat karena lebih murah dibanding rapeseed oil. Barulah saat itu Eropa protes, mencari isu apa yang paling tepat menyerang sawit, isu kesehatan Amerika sudah gagal. Lalu muncullah isu deforestasi lingkungan. Jadi itu semua hanya soal permasalahan bisnis sebetulnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Sahat mengungkapkan, strategi Indonesia dalam mempertahankan industri kelapa sawit hingga Indonesia Emas 2045 adalah dengan mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman, yakni sustainable, natural dan market. “Dunia Barat telah mewartakan bahwa proses pengolahan Tbs menjadi CPO itu adalah tidak ramah lingkungan, karena Emisi GRK yang ditimbulkan sangat tinggi,” ujarnya.
“Pabrik kelapa sawit (PKS) diwajibkan menerapkan sistem methane capture guna mengurangi emisi gas rumah kaca. Dengan teknologi methane capture emisi gas rumah kaca dari industri pengolahan kelapa sawit bisa diminimalisir,” paparnya. Penerapan sistem methane capture, lanjutnya, adalah satu proses “Curing”, dan perlu investasi tambahan.
Oleh karena itu, kini di tahun 2024. dan sekaligus menuju Indonesia Maju di tahun 2045 diperlukan inovasi teknologi “Preventing”, yaitu menemukan motada proses baru untuk menghasilkan minyak sawit dengan tujuan a) Emisi Karbon Rendah; b) Kandungan mikro-nutrisi tinggi dan c) Investasi PO Mill itu terjangkau, dan menjadi bagian dari petani sawit (Smallholders).
Hal terpenting saat ini bagi Pemerintah Indonesia Maju dalam hal sawit, adalah mencabut “kawasan hutan” dari areal perkebunan sawit petani (Smallholders), sehingga mereka bisa memperoleh sertifikasi lahan, mengarah ke ISPO dan bisa melakukan “traceability”.
“Dengan penerapan inovasi teknologi baru ini (“Preventing”), dan menjadikan 16,38 juta Ha kebun sawit saat ini bebas dari “kawasan hutan” Indonesia bisa membuktikan pada pasar internasional bahwa Indonesia dalam kelapa sawit sudah menerapkan sustainable practices, high-natural nutrition di dalam minyak sawit (haramkan penamaan CPO), untuk memenuhi pasar lokal dan global, “ pungkasnya.