Sebagai wilayah yang memiliki keragaman dan potensi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) mulai dari Ekspresi Budaya Tradisional (EBT), Sumber Daya Genetik (SDG) dan Pengetahuan Tradisional (PT) serta Indikasi Geogarfis (IG), Indonesia berupaya sekuat tenaga melindungi diri dari pengakuan, pencurian atau pembajakan oleh negara lain.
Tak terhitung berapa banyak kekayaan alam negeri ini yang sudah dipatenkan oleh negara luar. Mulai dari kopi gayo, kopi toraja, batik, gadung, pasak bumi, brotowali, kerajinan perak bali, wayang kulit, Reog Ponorgo hingga Lagu Rasa Sayange.
Bahkan tempe menjadi rebutan beberapa negara untuk dipatenkan, tercatat 35 perusahaan milik Amerika Serikat dan 6 perusahaan milik Jepang memegang hak paten pangan dari kedelai tersebut.
Indonesia yang begitu kaya dengan sumber daya alam dan budaya sudah sejak lama menjadi surga bagi para peneliti asing. Berdasarkan data pada tahun 2009, pemerintah menerbitkan 461 Surat Izin Penelitian (SIP), 2010 sebanyak 570 SIP, dan 2015 sebanyak 537 SIP. Ini disebabkan Indonesia memiliki kekayaan hayati nomor tiga terbesar di dunia.
Tercatat 515 jenis mamalia (12 persen dari total jumlah mamalia dunia), 511 reptil (7,3 persen dari seluruh reptile dunia), 1.594 jenis burung (17 persen dari jumlah burung dunia), sekitar 38 ribu jenis tumbuhan berbunga serta terumbu karang terluas di dunia yang diperkirakan mencapai 600.000 kilometer persegi.
Agar tak selalu kecolongan, Indonesia membangun Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal yang bertugas menginventarisir KIK dengan tujuan untuk perlindungan defensive, KIK sebagai warisan budaya Indonesia dan menggalang partisipasi aktif pemerintah daerah dalam pemutakhiran data kekayaan budaya di daerah.
Pun dengan EBT sebagai karya intelektual dalam bidang seni, termasuk sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh kustodian. Di dalamnya mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi yaitu verbal tekstual, musik, gerak, teater, seni rupa serta upacara adat. Sebagaimana diketahui, berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta, kebudayaan yang dilindungi adalah EBT dan Hak Cipta atas EBT dipegang oleh negara.
Sejarah mencatat, Amerika Serikat menjadi negara yang menggelontorkan Ide perlunya penerapan HKI karena merasa sangat dirugikan oleh praktik pembajakan. Pada perundingan multilateral General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), perusahaan-perusahaan farmasi di AS mendesak pemerintah AS agar HKI diterapkan seketat mungkin. Perusahaan-perusahaan farmasi menghitung makin ketat perlindungan HKI atas produk mereka, makin tinggi laba yang dipetik dan pada gilirannya memberikan pemasukan yang tinggi pula bagi pemerintah AS.
Dengan alasan yang sama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk WIPO (World Intellectual Property Organizaton) berkedudukan di Jenewa Swiss, sebagai sarana untuk merundingkan kesepakatan mengenai perlindungan HKI secara internasional. Hanya saja, negara-negara maju melihat perlindungan HKI dalam WIPO tidak cukup kuat dibandingkan dengan WTO (World Trade Organization) dimana Dispute Settlement Body (DSB) dalam WTO dinilai mampu menegakkan hukum perlindungan HKI lebih ketat. Negara-negara maju ingin menempatkan HKI dalam rezim perdagangan bebas, seperti dalam WTO-TRIPS.
Perlindungan Hak Milik Intelektual (HMI) tertuang dalam TRIPS Agreement yang dihasilkan dalam diskusi tentang GATT di penghujung tahun 1993 yang memiliki tiga prinsip pokok. Salah satunya, menetapkan standar minimum perlindungan dan penegakan HMI bagi negara-negara peserta penandatangan TRIPS Agreement. Termasuk di dalamnya adalah hak cipta (dan hak terkait lainnya), merek, indikasi geografis, desain industri, paten, tata letak sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Poin yang penting untuk diperhatikan ialah bahwa ini merupakan standar minimum. Tidak ada larangan bagi negara-negara tersebut untuk menetapkan standar yang lebih tinggi.
Kembali ke masalah pematenan di Indonesia sebagai bentuk perlindungan terhadap HKI Komunal yang membutuhkan proses panjang. Hal ini dikarenakan masih adanya perdebatan apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh hak cipta dan hak paten atau tidak adanya pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan (invention) sehingga bisa menjadi obyek hak cipta dan hak paten.
Persoalan lainnya, perbedaan pandangan dalam masyarakat adat itu sendiri. Di satu sisi melihat HKI bersifat individual, di lain sisi sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan.
Namun begitu, beberapa langkah penting dalam perlindungan HKI teknologi tradisional dilakukan pemerintah. Tercatat tahun 2002, sebagai pilot project kegiatan tersebut, dilakukan inventarisasi karya pengetahuan tradisional yang ada di masing-masing daerah. Data yang diperoleh melalui deskripsi-deskripsi itu nantinya secara bertahap akan dimasukkan ke dalam database untuk memudahkan kepemilikan suatu karya dan produk pengetahuan teknologi tradisional masuk dalam perlindungan HKI.
Perlindungan pengetahuan tradisional juga dilakukan Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak 2004, dengan menginventarisasi dan mendokumentasi pengetahuan tradisional di seluruh wilayah melalui Sentra HKI atau Unit Pengelola Kekayaan Intelektual. Saat ini telah terinventarisasi 2.000 lebih pengetahuan tradisional yang terdiri dari beberapa kelompok yaitu tanaman obat dan pengobatan, seni ukir dan pahat tradisional, seni tenunan tradisional, seni arsitektur tradisional, pangan dan masakan tradisional, kelompok pemuliaan tanaman, bahan pewarna alami, jenis-jenis kayu, dan pestisida nabati.
Termasuk membentuk tim pakar yang bertugas mengkaji kesenian tradisional. Langkah ini diambil dalam kasus klaim lagu daerah Rasa Sayange dan kesenian Reog Ponorogo. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, pemerintah akan membentuk tim pakar untuk mengkaji dan memilah kesenian tradisional milik Indonesia dan Malaysia sehingga tidak terjadi saling klaim terutama yang termasuk kategori `grey area` seperti lagu-lagu yang sudah ada sejak dahulu, berkembang di dua negara itu namun tidak jelas penggubahnya. Kemiripan budaya dan kesenian antara Indonesia dan Malaysia, menurut Menbudpar, sangat wajar karena banyak penduduk Malaysia yang berasal dari Indonesia dan bermukim sejak lama. Meski demikian, kata Jero Wacik, pemerintah tetap akan meningkatkan perlindungan terhadap seni dan budaya tradisional itu sehingga tidak diklaim oleh negara lain.(**)
Baca Juga :