Lembaga pengumpul royalti musik dari pengguna di tempat hiburan malam. Dari tahun ke tahun angkanya terus mengalami peningkatan.
Kenal dengan LMKN? Meski sudah empat tahun terbentuk jangankan dikenal masyarakat, namanya pun masih sayup-sayup terdengarnya.
LMKN atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional memang relatif masih baru. 22 Januari 2019 kemarin usianya genap empat tahun sejak lembaga ini dilantik kepengurusannya oleh Menteri Hukum dan HAM Yosanna H Laoly. Lembaga ini merupakan induk dari seluruh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di bidang lagu dan musik di Indonesia. Bahkan, Menkumham baru bisa mengeluarkan izin operasional untuk seluruh LMK berdasarkan rekomendasi LMK.
“Karena ini lembaga baru tentu, pertama kita internal dulu mengatur diri sendiri dulu, tahun pertama mengatur diri sendiri, membuat kode etik, statute dan bagaimana mengambil keputusan. Membuat membuat fondasi dulu Karena kita ini non APBN, Ya karena tidak ada anggaran kita di awal benar-benar nol,” ujar Adi Adrian selaku Komisioner LMKN menjawab pertanyaan TrustNews.
Bahkan menurutnya, di awal terbentuk LMKN, dirinya bersama teman-teman komisioner lainnya berkantor di lantai 8 gedung Ditjen HKI tepatnya di sis kanan ruang serbaguna. Di salah satu ruangan inilah Adi bersama Rhoma Irama, James F Sondakh, Imam Haryanto dan Slamet Adriyadie beraktivitas.
“Kita sangat dibantu pemerintah melalui Kemenkumham melalui Direktorat DJKI, di kasih ruang karena kita mau gimana wong ngga ada duit. Kita selama ini masih nebeng, jadi kita rapat disini dan ruang kita disini juga,” ujar Adi.
Diterangkannya, tugas LMKN diatur berdasarkan Peraturan Menkum HAM No. 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan ndan Penerbitan Izin Operasional serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif. Sebagaimana Undang-Undang Hak Cipta mendefiniskan LMK sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
“Apa yang LMKN kelola? Dalam bentuk pentarifan. Aturan main untuk pengguna musik bagaimana jadi disitu akhirnya kita menerbitkan putusan tentang pentarifan, jadi karaoke harus bayar berapa, bioskop, transformasi, penerbangan, airline, kereta api, radio, tivi segala macem jadi ada 13 katagori pentarifan,” ujar Adi yang juga keyboardist grup KLA Project.
Sebagai lembaga baru, lanjut Adi, LMKN banyak melakukan komunikasi dengan lembaga sejenis di negara-negara yang sudah terlebih dahulu menerapkannya, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Australia. LMKN mencari informasi banyak hal bagaimana mengelola kolektif manajemen, bagaimana membuat aturan, termasuk menerapkan pengenaan tarif.
“LMKN tidak sembarangan pengenaan tarif, sebelum ditetapkan kita Tanya-tanya dulu ke lembaga-lembaga sejenis di negara yang sudah bertahun-tahun menjalankan intelektual property-nya dan kolektif manajemen sudah jalan bertahun-tahun. Kita tidak bisa kenakan harga apple to apple seperti mereka, pengguna pasti marah dan berteriak ya kan. Jadi kita sesuaikan dengan keadaan di sini,” paparnya.
Sejak lembaga ini dibentuk, menurut Adi, royalty yang bisa dikumulkan terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Tercatat, tahun 2016 sebesar 20 miliar naik menjadi 36 miliar pada tahun 2017 dan kembali naik ke angka 78 miliar pada tahun 2018.
“Untuk tahun 2019 ini LMKN menargetkan bisa mengumpulkan royalti musik dari pengguna di tempat hiburan malam sebesar 100 miliar,” ujar Adi. (TN)