Bertransformasi dan meninggalkan zona nyaman membuat Perusahaan Umum DAMRI (Persero) melesat. Sebuah sejarah moda transportasi dalam menyusuri jalanan Ibukota hingga ke wilyah terisolir.
Sentuhan tangan dingin Setia N. Milatia Moemin dalam memimpin Perusahaan Umum DAMRI (Persero) menumbuhkan semangat baru pada angkutan bus tertua milik pemerintah itu. Hanya dalam satu tahun sejak dilantik, pundi-pundi keuangan DAMRI pun menggembung dengan meraih keuntungan Rp 21miliar tahun 2018 atau meningkat 300 persen dari 2017 sebesar Rp 7 miliar.
“Kita harus bertransformasi dengan meninggalkan zona nyaman. DAMRI itu usianya sudah 73 tahun, saat saya masuk sumber daya manusianya 92 persen tamatan SMA dan 1% S1 ke atas. Terlambat rekrutmen, kalau sekarang istilahnya orang milineal, kita kolonial. Itu bukan tantangan yang mudah,” ujarnya ketika ditemui TrustNews.
Zaman itu tidak bisa dikalahkan, lanjut Milatia yang tercatat sebagai Country Director di Institute Transportation Development & Policy (ITDP) ini, kita yang harus mengikuti Zaman. Digitalisasi menjadi jawabannya. Langkah awal dengan melakukan digitalisasi di 10 kota besar Indonesia. Digitalisasi dilakukan dalam kontrol pendapatan dan biaya.
Tahap berikutnya, memperkuat ranah digital dan menambah jalur baru di luar Pulau Jawa. Digitalisasi akan diterapkan baik pada cost control maupun revenue control.
Dari sisi cost control, digitilasisasi dilakukan terhadap inventori, pencatatan maupun laporan keuangan. Sementara dari sisi revenue control, DAMRI mengadakan tap on the bus dan pembelian menggunakan kartu kredit. Sebagai tambahan informasi, DAMRI memang menggencarkan pembayaran secara cash less sejak semester II 2018.
“Kita melakukan transformasi teknologi, sebelumnya manual beralih ke digitalisasi supaya mudah mengontrol banyak hal. Mulai dari manajemen armada dan keuangan. Kita jadi tahu pendapatan DAMRI hari ini berapa, dan pengeluaran berapa,” Paparnya.
Transformasi teknologi menjadi suatu keniscayaan, mengingat saat ini saja DAMRI tersebar di 60 kantor cabang mulai Sabang hingga Merauke. Belum lagi kekuatan armada yang mencapai 2.300 unit dengan jumlah pegawai sekitar 5.400 orang.
“Banyak ya? Bila dibandingkan dengan populasi di Indonesia jumlah segitu masih sangat sedikit. Jangan lihat DAMRI di wilayah perkotaan atau urban, DAMRI melayani sampai ke wilayah 3T (tertinggal, terisolasi dan terjauh) sebagai perpanjangan tangan pemerintah,” ujar Milatia yang tercatat pernah duduk sebagai Ketua MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) DKI Jakarta periode 1998-2003.
Dia pun mengambil contoh, bagaimana DAMRI melayani masyarakat di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, yang jaraknya sekitar 10-12 jam dari Jayapura. “Offroad,” ujarnya.
Di Sarmi, lanjutnya, biaya transportasinya sangat mahal, untuk berangkat sekolah menggunakan ojek biayanya mencapai Rp100 ribu. Namun dengan keberadaan DAMRI, biaya transportasi bisa jauh lebih murah. Ini membuat aktivitas masyarakat bisa jauh lebih hidup.
“Posisi DAMRI membuka konektivitas, meski kalau saya cerita kayaknya hero banget gitu, bagaimana dalam melayani masyarakat itu bus DAMRI mirip bus amfibi karena harus melewati sungai yang airnya tengah pasang,” ujarnya.
Dalam melayani dan membangun konektivitas itulah, lanjutnya, DAMRI melayani semua rute di Indonesia, mulai dari angkutan kota, angkutan antar kota, angkutan antar provinsi, angkutan antar lintas batas negara, angkutan pemadu moda, angkutan travel pariwisata, angkutan logistik hingga angkutan perintis.
“Kita menyadari masih banyak daerah yang belum terbuka, belum tersambung konektivitas. Inilah peran DAMRI menjadi satu perusahaan yang bisa melayani kebutuhan mobilitas manusia dan konektivitasnya,” pungkasnya. (TN)