
Sungai adalah denyut nadi bangsa. Bukan sekadar aliran air, sungai menghidupkan peradaban, mengayomi komunitas, menyuburkan sawah, dan membawa harapan jutaan orang. Namun kini, sungai tidak lagi hanya menjadi simbol kemakmuran, melainkan juga peringatan atas krisis ekologis yang mendalam. Air yang mengalir kini tak hanya membawa kehidupan, tetapi juga mengabarkan kerusakan.
Indonesia memiliki 42.210 Daerah Aliran Sungai (DAS)—sistem kompleks yang menghubungkan gunung, hutan, kota, dan laut. Namun lebih dari sepertiganya kini dalam kondisi kritis. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2018 mencatat, 95,95 juta hektare dari 4.489 DAS tergolong dalam kategori yang membutuhkan pemulihan. Sebanyak 108 DAS di antaranya telah ditetapkan masuk dalam program prioritas 2020–2024.
Menanggapi kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK, di bawah kepemimpinan Dyah Murtiningsih, mengambil langkah tegas untuk memulihkan DAS. Strategi yang diterapkan mencakup perumusan kebijakan berbasis keberlanjutan lingkungan, kolaborasi lintas lembaga dan pemangku kepentingan, serta rehabilitasi hutan dan lahan dari hulu ke hilir.
“DAS yang sehat mampu menyimpan air di musim hujan dan menyediakannya di musim kemarau,” ujar Dyah Murtiningsih kepada TrustNews. Ia menegaskan bahwa visinya adalah mengembalikan DAS sebagai penopang utama kehidupan.
Dalam kurun waktu lima tahun hingga 2024, PDASRH telah melaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) seluas 980.271,42 hektare. Program RHL tidak hanya sekadar menanam pohon, tetapi juga mengedepankan pelibatan masyarakat melalui program Kebun Bibit Rakyat (KBR). Pada 2024, sebanyak 1.070 unit KBR telah dibangun, dengan produksi mencapai 33.935.000 batang bibit tanaman multipurpose (MPTS), buah-buahan, dan kayu-kayuan.
“Pemilihan spesies lokal dan bernilai ekonomis menjadi penting agar masyarakat tertarik dan terlibat dalam jangka panjang,” tambah Dyah.
Rehabilitasi juga menyasar kawasan pesisir, khususnya hutan mangrove. Selama lima tahun terakhir, seluas 84.712 hektare mangrove telah dipulihkan. Indonesia bahkan mendorong pembentukan World Mangrove Center melalui kerja sama internasional.
Kegiatan RHL juga mencakup pendekatan sipil teknis berupa pembangunan bangunan konservasi tanah dan air. Hingga 2024, sebanyak 10.952 unit bangunan telah dibangun, seperti dam penahan, gully plug, ekohidrolik, dan sumur resapan.
Untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program RHL, penguatan kelembagaan menjadi kunci. Forum Peduli DAS diperkuat dan diberikan peran strategis dalam perencanaan, pengawasan, dan advokasi di tingkat tapak. Selain itu, kolaborasi dengan sektor swasta melalui skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan kemitraan hijau juga diperluas.
Namun, tantangan masih besar. Limbah industri, alih fungsi lahan, serta kurangnya koordinasi antarinstansi menjadi hambatan nyata dalam pemulihan DAS. Dyah mengakui, pemulihan DAS tidak bisa bertumpu pada sektor kehutanan saja. Sinergi lintas kementerian diperlukan—melibatkan Kementerian PUPR, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, serta Kementerian Pertanian—untuk memastikan integrasi kebijakan tata ruang, pengelolaan lahan, dan pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan.
“PDASRH terus mendorong pemulihan lahan kritis melalui kolaborasi berbagai pihak,” tegas Dyah.
Slogan “DAS Sehat, Masyarakat Sejahtera” bukan sekadar kata-kata. Ini adalah visi masa depan yang ingin diwujudkan. Ketika DAS dikelola dengan baik, air bersih mengalir, lahan menjadi subur, dan sumber daya alam dimanfaatkan secara bijak. Hal ini membentuk fondasi bagi kehidupan masyarakat yang lebih stabil, sehat, dan produktif.
Sebaliknya, kerusakan DAS akan selalu berujung pada bencana ekologis, konflik sosial, dan hilangnya sumber penghidupan. Menjaga kesehatan DAS adalah investasi jangka panjang—bagi alam, masyarakat, dan generasi yang akan datang.