trustnews.id

Kisah Komdigi Menjaga Gerbang Digital Republik
Dok, Istimewa

Di tengah belantara kabel optik dan server yang membentang dari Sabang hingga Merauke, ada satu pertanyaan yang terus bergema dalam ruang sunyi dunia maya Indonesia: siapa yang menjaga gerbang digital republik ini? Di era ketika informasi melaju secepat klik dan hoaks menyaru sebagai kebenaran, tak cukup hanya niat baik dan seruan moral. Negara membutuhkan alat yang mampu bekerja tanpa lelah tanpa bias dan tanpa tidur.

Di ruang maya yang rawan manipulasi dan dipenuhi jebakan digital seperti judi terselubung dan disinformasi, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi mempekerjakan mesin pengais yang bertugas menyisir sisa-sisa konten terlarang, siang dan malam, tanpa jeda.

”Mesin crawling yang tertanam dalam sistem ini memantau ruang digital Indonesia 24 jam sehari, 7 hari seminggu,” ujar Ismail, Sekretaris Jenderal Komdigi kepada TrustNews.

Upaya ini ditambah dengan penerapan Sistem Kepatuhan Moderasi Konten (SAMAN) yang akan memberikan sanksi terhadap platform digital yang memuat konten melanggar aturan sebagai bentuk pengawasan terhadap kepatuhan moderasi konten.

”Ia menyisir jejak digital yang melanggar aturan dan mengidentifikasinya untuk ditindak secara cepat,” ungkapnya.

SAMAN bukan hanya representasi kecanggihan teknologi birokrasi, tapi juga simbol dari niat politik yang berubah menjadi struktur kelembagaan. Dulu pengawasan digital sekadar satu direktorat di era Kominfo; kini ia menjelma menjadi sebuah Direktorat Jenderal tersendiri dalam struktur baru Komdigi, dikenal sebagai Unit Kerja Eselon 1.

Bagi Ismail, ini bukan sekadar kenaikan pangkat administratif. Melainkan pernyataan serius bahwa penguasaan ruang digital adalah kepentingan nasional.

”Langkah ini bukan kosmetik,” tegasnya.

”Kita sedang mengejar dunia yang bergerak lebih cepat daripada peraturan yang mengikatnya,” jelasnya.

Dalam pandangan Komdigi, dunia digital adalah paradoks: ia menciptakan peluang luar biasa sekaligus menghadirkan risiko yang tak kalah besar. Teknologi membuka pasar bagi UMKM, menyuburkan ekonomi kreatif, dan menjadi pendorong produktivitas nasional.

Presiden bahkan menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dengan digitalisasi sebagai tulang punggungnya. Namun, di sisi lain, jaringan yang sama menjadi sarana penyebaran judi daring, pornografi, hoaks, hingga penipuan berbasis teknologi.

Fakta di lapangan mencerminkan skala persoalannya. Sejak SAMAN aktif, lebih dari 1,5 juta konten perjudian online telah diturunkan, bersama 438 ribu konten bermuatan pornografi. ”Itu akumulasi hingga pertengahan tahun ini,” jelas Ismail.

Tetapi pengawasan ruang digital bukan pekerjaan satu kementerian saja. Platform global seperti YouTube, TikTok, dan Meta tidak beroperasi di bawah yurisdiksi tunggal. Karena itu, Komdigi mengembangkan pendekatan dua arah: pemblokiran langsung di tingkat nasional, serta koordinasi dengan platform agar mereka menurunkan konten secara mandiri sesuai regulasi lokal.

”Kami tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada koordinasi global, tapi dengan pendekatan yang menghormati hukum nasional,” ujarnya.

Pendekatan ini menuntut lebih dari sekadar kemauan politik. Ia membutuhkan diplomasi digital yang cermat dan ketegasan regulasi yang bisa ditegakkan. Indonesia, seperti negara-negara lain, mendorong terbentuknya kesepakatan lintas batas mengenai standar moderasi konten. Di saat bersamaan, regulasi lokal juga diperkuat, termasuk sanksi bagi platform yang tidak kooperatif.

Namun dilema tetap mengintai, antara menjaga kebebasan berekspresi dan melindungi masyarakat dari bahaya digital. Terlalu longgar, masyarakat jadi korban. Terlalu ketat, inovasi justru tercekik.

“Pendekatannya harus berimbang,” kata Ismail.

“Kita gunakan kecanggihan teknologi, tapi jangan sampai mengekang kebebasan yang sehat,” jelasnya.

Masalahnya, inovasi digital bergerak jauh lebih cepat dibandingkan penyusunan peraturan. Setiap hari lahir platform baru, model penyebaran konten terus berubah, dan kini muncul lapisan baru berupa kecerdasan buatan generatif yang menciptakan konten secara mandiri.

Semua itu memperumit lanskap pengawasan. Sementara pengguna baik yang sadar maupun lengah terus membanjiri ruang siber dengan data, opini, dan terkadang, kebencian.

Apakah negara bisa mengimbangi? Ismail tidak menampik tantangannya, namun tetap optimistis.

”Kami memperkuat tiga hal. Kelembagaan, sistem, dan SOP. Semuanya harus berjalan serempak dan konsisten,” pungkasnya. (TN)