
Negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan salah satu yang paling kaya keanekaragaman hayati ini juga termasuk yang paling rentan terhadap keruntuhan ekologi. Dalam keterbatasan kapasitas penegakan hukum, Indonesia kini mengandalkan satu pendekatan tak lazim: persuasi moral.
Sulit dipercaya, tetapi pemerintah Indonesia mulai menggantungkan harapan lingkungan pada dua kekuatan lama yang berakar dalam: nasionalisme dan agama. Di banyak negara, keduanya sering kali dianggap penghambat kemajuan.
Namun di Indonesia, keduanya justru sedang diarahkan untuk menopang masa depan.
"Perubahan iklim bukan sekadar tantangan ilmiah. Ini juga krisis spiritual,” ujar Nasaruddin Umar, Menteri Agama kepada TrustNews.
“Kita tidak bisa menyelesaikan ini hanya dengan data dan kebijakan. Kita butuh tanggung jawab moral. Dan di Indonesia, itu datang dari iman dan cinta tanah air, " tambah Nasaruddin yang kini menjadi salah satu penggerak utama gagasan tersebut.
Indonesia bukan pelopor tunggal dalam hal ini. Institusi keagamaan di seluruh dunia mulai bersuara soal lingkungan, dari ensiklik hijau Vatikan Laudato Si’ hingga ajaran ekologis para biksu Buddha. Namun yang membuat Indonesia berbeda adalah caranya melembagakan agama dalam kebijakan lingkungan.
Kementerian Agama mulai memasukkan pesan ekologis ke dalam khutbah, kurikulum sekolah, hingga forum lintas iman. Masjid-masjid mendorong hemat air dan pengelolaan sampah. Pesantren ditugaskan menanam pohon dan memakai energi surya. Khutbah Jumat kini kerap memuat etika lingkungan.
Pendekatan ini penting di negara di mana agama menyatu erat dengan kehidupan sehari-hari, dan suara tokoh agama kerap lebih dihormati ketimbang pejabat negara.
“Masyarakat mungkin tidak tertarik dengan statistik karbon. Tapi mereka mendengar jika ustaz mereka bilang bahwa merusak alam adalah dosa,” ujarnya.
Di samping pendekatan agama, nasionalisme Indonesia juga turut dimobilisasi. Berbeda dengan nasionalisme etnosentris yang berkembang di negara lain, nasionalisme Indonesia tumbuh dari perjuangan bersama dan keberagaman.
Nasaruddin menyebutnya sebagai “nasionalisme transparan” dalam pema- haman bukan pagar yang menolak perbedaan, melainkan penyaring nilai yang memperkuat bangsa.
"Kita tidak menolak perbedaan. Justru kita terima jika sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan," tegasnya.
Dalam kerangka ini, menjaga lingkungan menjadi tindakan patriotik. Hutan bukan hanya ekosistem atau penyangga karbon, tapi bagian dari tanah air. Mencemari sungai bukan hanya pelanggaran hukum, melainkan pengkhianatan terhadap republik. Perpaduan antara iman dan kewarganegaraan inilah yang oleh Nasaruddin disebut ekoteologi kebangsaan.
Namun semangat moral tidak serta merta menggantikan kebutuhan akan kebijakan yang tegas. Indonesia masih termasuk pengemisi terbesar ketiga dunia dari sektor penggunaan lahan. Lahan gambut terus dikeringkan, perluasan sawit berlangsung, dan batu bara tetap menjadi sumber energi utama. Belum banyak bukti bahwa retorika moral telah mengubah arah ekonomi ekstraktif nasional.
“Gerakan ini harus bergerak dari wacana ke struktur. Agama bisa memberi inspirasi," ujar Nasaruddin mengakui keterbatasan pendekatan ini.
"Tapi kita perlu sinergi lintas kementerian: energi, kehutanan, pendidikan. Kita butuh regulasi yang memungkinkan keberlanjutan, bukan sekadar mengagungkannya," tegasnya.
Krisis iklim adalah panggilan zaman, kata Nasaruddin. Dan Indonesia, dengan keberagaman agama dan semangat kebangsaan yang inklusif, memiliki modal sosial yang besar untuk menjawab panggilan itu.
“Yang kita butuhkan sekarang adalah narasi besar: bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari keimanan dan kebangsaan," ujarnya
"Ini saatnya kita membangun apa yang saya sebut ‘ekoteologi kebangsaan’, yaitu kesadaran kolektif untuk menjaga bumi sebagai bentuk cinta kepada Tuhan dan tanah air,” pungkasnya.