
Thorcon dan Isu Nuklir Indonesia
TRUSTNEWS.ID - Indonesia, sebagai negara berkembang dengan kebutuhan energi yang terus meningkat, menghadapi dilema dalam memilih sumber energi yang berkelanjutan. Di tengah dorongan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, energi nuklir muncul sebagai opsi yang kontroversial sekaligus potensial.
Meskipun memiliki potensi untuk menyediakan energi yang stabil, rendah emisi, dan andal sebagai baseload untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, keberadaan nuklir di Indonesia tidak terlepas dari debat panjang antara manfaat ekonomi, risiko lingkungan serta keamanan.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang saat ini bergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah lama mengkaji potensi nuklir sebagai bagian dari bauran energi nasional. Tercatat, rencana pembangunan PLTN telah diusung sejak era Presiden Soekarno, yang kemudian melahirkan BATAN pada 1958.
Rencana ini sempat mendekati realisasi pada awal era Reformasi, dengan pembangunan PLTN pertama diproyeksikan di Muria, Jawa Tengah, namun tertunda dan tidak terlaksana hingga saat ini. Bersamaan dengan pembaruan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045, nuklir kembali dimunculkan sebagai bagian dari rencana bauran energi nasional.
Dengan cadangan uranium dan thorium yang melimpah di wilayah seperti Kalimantan Barat dan Bangka Belitung, Indonesia memiliki sumber daya untuk mengembangkan PLTN. Uranium dan thorium saat ini menjadi komoditas perdagangan global yang berharga, dan apabila tidak digunakan di dalam negeri, dapat menjadi sumber energi bagi negara-negara pengguna PLTN lain, terlebih dengan perkembangan penggunaan energi nuklir yang pesat di Tiongkok dan negara-negara pengguna baru lainnya.
Indonesia, yang berada di Cincin Api Pasifik, sebagian wilayahnya rentan terhadap gempa bumi dan tsunami, sehingga memperbesar kekhawatiran akan keamanan PLTN.
Selain itu, pengelolaan limbah radioaktif menjadi isu krusial, mengingat Indonesia belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk penyimpanan jangka panjang. Biaya pembangunan PLTN yang tinggi, diperkirakan mencapai miliaran dolar, juga menjadi hambatan di tengah keterbatasan anggaran negara. Hal ini, dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, disiasati dengan mendorong investasi swasta di sektor energi baru.
Masyarakat sipil dan organisasi lingkungan kerap menyuarakan penolakan. Pihak-pihak yang mengajukan penolakan tersebut menilai bahwa energi terbarukan, seperti panas bumi dan surya, lebih aman dan sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.
Namun, pendukung nuklir berargumen bahwa teknologi modern, seperti reaktor modular kecil (Small Modular Reactor, SMR), dapat meminimalkan risiko dan lebih hemat biaya.
Pemerintah Indonesia belum menetapkan keputusan final terkait nuklir. Rencana pembangunan PLTN di Bangka Belitung dan Kalimantan telah ditargetkan untuk beroperasi, masing-masing dengan daya 250 MW pada tahun 2032 dan 2033, serta saat ini masih dalam tahap studi kelayakan. Belum terdapat teknologi PLTN terpilih yang ditetapkan akan dibangun di kedua titik lokasi tersebut.
Sementara itu, kerja sama dengan negara seperti Rusia, Korea Selatan, dan Prancis terus dijalin untuk transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Di tengah diskursus ini, muncul sebuah nama Thorcon International, sebuah perusahaan energi yang berfokus pada pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir berbasis teknologi canggih, khususnya teknologi reaktor garam cair (molten salt reactor).
Perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Singapura ini sudah memulai operasinya di Indonesia sejak 2015. Sejak tahun tersebut, perusahaan ini mulai mempromosikan teknologi reaktor garam cairnya kepada institusi kunci di Indonesia. Thorcon berkomitmen untuk berinvestasi pada pembangunan PLTN di Indonesia tanpa menggunakan APBN.
Selain terhadap institusi kunci, Thorcon juga telah melaksanakan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat melalui sejumlah program yang dicanangkan bersama dengan beberapa perguruan tinggi ternama di tanah air.
“Di masa lalu, tantangan utama adalah penerimaan publik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kami melihat perubahan opini publik di seluruh dunia,” ujar Kun Chen, Chief Nuclear Officer Thorcon International.
“Banyak orang mulai melihat nuklir sebagai bagian dari solusi untuk masalah energi dan lingkungan,” tambahnya.
Sejak saat itu, Thorcon telah menandatangani berbagai Nota Kesepahaman dan Kerja Sama, termasuk dengan PT PAL Indonesia untuk studi pengembangan, Balitbang Kementerian Pertahanan untuk penelitian reaktor thorium, dan dengan PT PLN untuk studi investigasi tapak, interkoneksi jaringan, dan studi kelayakan tapak.
Sebagai wujud komitmen dan keseriusan dalam menjalankan rencana usahanya, pada 2021, Thorcon mendirikan PT Thorcon Power Indonesia yang berkantor pusat di Jakarta, dan telah memiliki kantor cabang di Bangka Belitung. PT Thorcon Power Indonesia bertanggung jawab untuk melaksanakan proses perizinan dan penerimaan publik, dan pada 21 Januari 2025, mengajukan dokumen Program Evaluasi Tapak (PET) dan Sistem Manajemen Evaluasi Tapak (SMET) ke BAPETEN, menandai langkah awal lisensi pembangkit nuklir pertama di negara ini.
BAPETEN selanjutnya memberi persetujuan atas dokumen PET–SMET pada 30 Juli 2025, sehingga Thorcon dapat memulai pelaksanaan evaluasi tapak secara menyeluruh. Evaluasi tapak dilaksanakan di calon tapak Pulau Kelasa, Bangka Belitung. Operasi komersial pertama ditargetkan pada 2032 sesuai dengan target pemerintah.
“Potensi negara ini (Indonesia) adalah salah satu alasan utama kami datang ke sini. Indonesia adalah negara besar dengan populasi yang besar,” ujarnya.
“Kami sangat optimistis dan melihat banyak potensi untuk mengembangkan sumber listrik yang bersih dan terjangkau,” pungkasnya. (TN)