Beda Kamar
TRUSTINSPIRASI.COM, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) memantik polemik panas di masyarakat. Pihak yang menolak menudingnya sebagai RUU Pro-Zina karena tidak mengatur sanksi kepada orang yang memaksa perempuan untuk melacur.
Sementara pihak yang mendukung justru melihat RUU PKS semangatnya melindungi perempuan dari kekerasaan seksual. Adapun tudingan soal prostitusi, pihak yang pro menganggap persoalan tersebut sudah di aturn dalam KUHP.
Pada draf RUU PKS Pasal 3 jelas tertulis bahwa penghapusan kekerasan seksual bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Terlepas dari pro dan kontra, RUU PKS telah dimulai sejak 2014 oleh Komnas Perempuan. Penyusunan ini juga melibatkan mitra dari berbagai pemangku kepentingan meliputi Aparatur Penegak Hukum, perwakilan lembaga legislatif, perwakilan kementerian/lembaga, akademisi, Forum Pengada Layanan dan masyarakat sipil.
RUU PKS tersebut kemudian masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2016. Namun hingga kini, DPR RI itu tak kunjung mengesahkan RUU tersebut.
Salah satu latar belakang dari pengajuan RUU PKS ini adalah semakin meningkatnya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak perempuan dan perempuan.
Komnas Perempuan mencatat, pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus dan pada 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas. Sejak 2014 itu, Komnas Perempuan telah mengumumkan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Riri Khariroh, mengatakan sebanyak 50 persen kasus perempuan yang melaporkan tindak kekerasan seksual, berakhir dengan jalur mediasi.
Jalur mediasi yang dimaksud adalah mengawinkan korban dengan pelaku kekerasan seksual. Persoalan ini menjadi penyebab enggannya korban untuk melapor. Selain itu, ada perilaku aparat hukum yang tidak sensitif, bahkan malah cenderung menyalahkan korban.
Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) Ratna Bantara Munti, mengatakan, Indonesia membutuhkan regulasi khusus untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Sebab, peraturan yang ada, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP masih lemah secara implementasi dan substansi. Sehingga, aturan itu tidak menyasar pada akar permasalahan kasus kekerasan seksual dan minim perlindungan pada korban.
Dalam KUHP, misalnya, hanya mengatur perkosaan dan pencabulan. Ratna menuturkan, definisi dari istilah tersebut dalam KUHP masih sebatas kontak fisik. "Konteksnya harus dibuktikan dengan adanya sperma, masuknya penetrasi penis ke kemaluan perempuan," ujarnya.
Padahal, kata Ratna, kekerasan seksual tidak hanya sebatas fisik. Pada RUU PKS yang belum disahkan, memuat sembilan bentuk kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual.(