trustnews.id

HIMKI Ingatkan Pemerintah SOAL MOMENTUM
Abdul Sobur Ketua Presidium HIMKI

HIMKI Ingatkan Pemerintah SOAL MOMENTUM

NASIONAL Rabu, 18 Agustus 2021 - 04:17 WIB TN

Arus balik dirasakan benar oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Setelah hampir pingsan di tiga bulan awal pandemi Covid-19, kini berbalik.

Industri mebel dan kerajinan tetap mengalami pertumbuhan di tengah pandemi COVID-19 yang masih melanda negara-negara di dunia. "Industri ini mengalami pertumbuhan di masa pandemi ini," kata Ketua Presidium HIMKI Abdul Sobur menjawab TrustNews.

"Over all kita mengalami pertumbuhan hampir US$250 juta selama pandemi. Jadi yang tadinya US$ 1,75 miliar dolar sekarang mendekati US$2 miliar," tegasnya.

Sebagai Ketua Presidium HIMKI, Sobur, melihat adanya anomali sepanjang pandemi yang melanda dunia. Sebuah anomali adanya pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, meski dunia tengah dilanda pandemi Covid-19.

"Kita sebut saja Amerika Serikat yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Ini yang kita sebut anomali dan kita pelajari betul, karena anggota HIMKI itu mengeskpor ke 127 negara," urainya.

Cepatnya Amerika Serikat recovery, lanjutnya, karena menerapkan pemberian bantuan tunai langsung kepada rakyat yang memiliki gaji dan patuh terhadap penerapan work from home (WFH).

"Besaran bantuan tunai didasarkan pada seberapa besar pajak yang dibayarkan, sehingga tiap pembayar pajak akan menerima bantu tunai yang nilainya berbeda," ujarnya.

"Kedua masyarakat patuh dengan penerapan WFH. Tidak istilahnya untel-untelan di jalanan, bahkan mereka memilih pindah ke daerah pinggiran kota yang penduduknya lebih sepi. Tujuannya menghindari dan memutus mata rantai penyebaran virus," tambahnya.

Selain itu, lanjut Sobur, ada dua faktor penting yang menjadikan pasar AS kembali pulih dengan cepat, antara lain disebabkan oleh pasokan dari Tiongkok berkurang akibat perang dagang, di mana hal itu berpengaruh besar.

Sebagai gambaran, pada 2019, ekspor Tiongkok ke Amerika Serikat tercatat US$40 miliar, tapi karena perang dagang, ekspornya turun pada 2020 hanya US$9,5 miliar. Artinya terdapat US$24 miliar pasar yang ditinggalkan Tiongkok.

"Oke Vietnam yang mengisinya, tapi perlu diingat juga Vietnam ternyata punya keterbatasan. Untuk pengiriman barang ke AS, Vietnam membutuhkan waktu (lead time/delivery time) hingga 150 hari," urainya.

"Situasi yang dihadapi Vietnam dimanfaatkan Indonesia. Sepanjang Januari-April 2021, ekspor mebel RI ke dunia meningkat
39,5 persen menjadi US$853,9 juta dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya. Dan yang menarik lagi, Amerika sendiri melakukan produksi furnitur secara besar-besaran di Indonesia," paparnya.

Apabila pertumbuhan tersebut dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, lanjut Sobur, maka diharapkan pada 2021, ekspor RI bisa mencapai US$2,75 miliar hingga US$3 miliar.

"Ini momentum yang harus di gunakan oleh pemerintah dan dunia usaha. Ini akan terjadi sampai 2024. Supaya betul-betul benefitnya di ambil Indonesia. Karena kita punya bahan baku, skill dan jumlah penduduk kita cukup banyak sehingga sangat mungkin," tegasnya.

Sobur dan HIMKI tentu tak ingin terulang kisah pahit yang dialami industri mebel dan kerajinan di awal pandemi menerjang. Saat itu April 2020, hanya selang satu bulan pemerintah menyatakan pandemi, tercatat 280 ribu pekerja yang di-PHK dan dirumahkan.

HIMKI mencatat jumlah tenaga kerja pada industri furnitur dan kerajinan nasional mencapai 2,1 juta orang. Pabrikan IKM atau dengan omzet di bawah US$1 juta per tahun mendominasi 80 persen dari total pelaku industri furnitur.

HIMKI menghitung perkiraan jumlah stimulus yang dibutuhkan bagi seluruh anggotanya, mencapai Rp 4 triliun. Angka tersebut diyakini dapat membantu meringankan beban pengusaha di tengah masa sulit. Stimulus ini digunakan untuk membayar cash, 5-7 bulan gaji, plus THR. Lalu dikalikan dengan ratusan upah karyawan di setiap pabrik.

"Agar momentum itu tidak lewat, ada banyak regulasi yang harus diperbaiki. Misalnya bunga bank Indonesia masih terlalu tinggi 9 persen, di Jepang bunga setinggi itu bisa pada ngamuk. Kemudian pajak juga tinggi. Ini ibaratnya belum bertinju sudah KO duluan," jelasnya.

"Kalau pemerintah mau bersungguh-sungguh membantu dunia usaha, jangan mempersulit diri sendiri. Kalau semua serba tinggi, ya nggak salah kalau banyak yang lari ke Vietnam," pungkasnya. (TN)