Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, pada 18 Agustus 1945 Undang Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Untuk melaksanakan amanat Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar, tanggal 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Pusat sebagai sebuah badan perwakilan, yang menjadi cikal bakal dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kedua peristiwa bersejarah setelah Proklamasi Kemerdekaan tersebut, selalu diperingati sebagai Hari Konstitusi dan Hari Lahir MPR.
"Jika selama ini Hari Konstitusi hanya diperingati oleh MPR RI, untuk tahun berikutnya Hari Konstitusi juga harus diperingati oleh seluruh warga bangsa. Oleh pemerintah, lembaga-lembaga negara, dan seluruh masyarakat Indonesia, dalam satu rangkaian dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Mengingat konstitusi bukan hanya milik MPR, tetapi juga milik seluruh bangsa Indonesia. Tidak ada negara tanpa konstitusi, tidak ada pemerintahan tanpa konstitusi, serta tidak ada lembaga negara tanpa konstitusi," ujar Bamsoet dalam peringatan Hari Konstitusi dan Hari Lahir ke-76 MPR RI, di komplek Majelis, Jakarta, Rabu (18/8/21).
Mantan Ketua Komisi III DPR RI dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan dokumen hukum yang di dalamnya memuat cita-cita Indonesia merdeka, memuat falsafah bangsa yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara, serta memuat tujuan pembentukan pemerintah Negara Indonesia. Cita-cita luhur tersebut adalah tujuan yang harus selalu diupayakan pencapaiannya.
"Rumusan pendiri bangsa yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar jelas menegaskan, kemerdekaan merupakan gerbang awal untuk meneguhkan persatuan, menegakkan kedaulatan sepenuh penuhnya, memastikan tegaknya keadilan bagi siapa pun, dan mewujudkan kemakmuran untuk semua," jelas Bamsoet.
Menutup pidatonya pada peringatan Hari Konstitusi Nasional dan Hari Lahir MPR RI, Bambang Soesatyo menceritakan kisah para pendiri bangsa yang patut untuk diteladani oleh seluruh bangsa Indonesia. Dari kesahajaan dan kesederhanaan H Agus Salim hingga persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta.
"Sebelum mengakhiri sambutan, izinkan saya menyampaikan beberapa kisah kehidupan para pendiri bangsa yang patut kita teladani," ujarnya.
Bamsoet melanjutkan, dalam kehidupan kesehariannya, Agus Salim adalah seorang kontraktor, karena tempat tinggalnya selalu berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Salah satu kontrakannya adalah sebuah rumah mungil dengan satu ruangan besar, yang berada di gang sempit dan padat penduduk di bilangan Jatinegara. Begitu pintu dibuka, akan ada koper-koper terkumpul di sudut rumah, dan kasur-kasur digulung di sudut lainnya.
"Di situlah H Agus salim menerima tamu, makan, dan tidur bersama isteri dan anak-anaknya. Kontrakan yang paling dikenangnya adalah di gang listrik, yang justru harus hidup tanpa listrik gara-gara ia tidak mampu membayar tagihan listrik," ujarnya.
Kemudian, sambung Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu, ketika salah satu anaknya meninggal dunia, Agus Salim tidak punya uang untuk membeli kain kafan. Jenazah anaknya dibungkus dengan taplak meja dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru, ia pun mengungkap alasannya.
Mantan Ketua DPR ini melanjutkan, jika ingin meneladani persahabatan, Bung Karno dan Bung Hatta dapat dijadikan contoh. Meski sudah tidak bisa bersama lagi, keduanya tetap hangat dan akrab. Padahal mereka berbeda pandangan yang tak ada titik temunya tentang demokrasi. Pak Kasimo dan Pak Natsir pun demikian, keduanya bisa berboncengan naik sepeda setelah debat sengit di parlemen.
"Demikian sekelumit kisah keteladanan para pemimpin bangsa di masa lalu yang dapat menjadi inspirasi bagi kita semua, dan untuk kita teladani bersama," ucap Bamsoet. (TN)