Jawa Tengah tak melulu soal tekstil dan garmen, juga bicara soal banyak hal. Hanya saja masih butuh sinergi dan konsolidasi dengan semua pihak, termasuk pemerintah. Mencari peluang dari negara-negara non tradisional.
Bicara ekspor Jawa Tengah, tak melulu bicara soal tekstil dan furniture berserta turunannya. Tapi juga bicara walet, produk-produk komoditas, produk perikanan hingga rajungan.
Ekspor Komoditas Pertanian, misalnya, Jateng dianugerahi penghargaan Abdi Bakti Tani Tahun 2021 untuk Kategori Provinsi berkat catatan Ekspor Komoditas Pertanian Tertinggi tahun 2019-2020.
Ekspor Jawa Tengah meningkat hingga Rp8,3 triliun untuk komoditas pertanian. Catatan ini mengalahkan empat provinsi lain yakni Kalimantan Timur sebesar Rp6,7 triliun, Jambi sebesar Rp5,1 triliun, Kalimantan Barat sebesar Rp4,4 triliun, disusul Sulawesi Utara dengan peningkatan ekspor sebesar Rp3,9 triliun.
Pun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor produk dari Jawa Tengah mencapai 967,60 juta dolar AS, pada Agustus 2021. Capaian itu naik 18,56 persen, dibanding Juli 2021. Kenaikan itu, karena ekspor barang nonmigas mengalami peningkatan 12,07 persen, dan barang migas naik 167,82 persen.
Bila disandingkan dengan periode yang sama 2020, capaian ekspor Jateng meningkat 46,91 persen, di mana pada Agustus 2020 mencatat 658,64 juta dolar AS.
Amerika Serikat disebut sebagai pasar terbesar, karena menyumbangkan perdagangan luar negeri senilai 2.498,71 juta dolar AS selama kurun Januari-Agustus 2021. Capaian itu disusul dengan Jepang senilai 571,17 juta dolar AS dan Tiongkok 432,00 juta dolar AS.
Ade Siti Muksodah, Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Tengah, mengatakan, Jateng menjadikan tekstil, furniture berserta turunannya sebagai primadona ekspor. Padahal masih banyak produk ekspor lain dari Jateng yang mengalami peningkatan permintaan, seperti sarang burung walet dan produk perikanan.
"Jateng identik dengan ekspor tekstil dan furniture. Orang jarang melihat bahwa ekspor komoditas di Jawa Tengah itu luar biasa," ujar Situ Muksodah menjawab TrustNews.
Kondisi itu, baginya, menyebabkan masyarakat atau bahkan investor akan melihat bahwa keunggulan Jateng hanya di dua produk tersebut, sehingga produk ekspor lainnya menjadi terhambat untuk berkembang.
"Orang hanya melihat ekspor Jateng hanya begini doang, ini bisa menyebabkan komoditas lain jadi terhambat. Karena orang tidak tahu, kalau Jateng punya semuanya untuk di ekspor dan hanya melihat ke dua jenis ekspor tadi," paparnya.
Sebagai Ketua GPEI Jateng, Siti Muksodah, menyebut potensi buah di Jawa Tengah sangat tinggi. Ini mengingat Jawa Tengah adalah lumbung hortikultura dan menjadi salah satu kawasan utama pertanian nasional.
Hanya saja, lanjutnya, potensi itu belum tergarap maksimal karena adanya sejumlah kendala buah yang cepat busuk dan terbatasnya kontainer berpendingin (reefer container) dan perlunya riset bagaimana kondisi buah tetap segar sela- ma proses pengiriman.
"Kita harusnya melihat Amerika Serikat bisa ekspor apel berbulan-bulan melalui jalur laut, begitu sampai di negara tujuan kondisinya tetap segar. Begitu juga Australia dengan anggurnya yang dikirim ke berbagai negara di dunia tetap masih segar," ujarnya
"Ini berarti ada riset dan teknologi, bagaimana buah-buahan dan sayuran kita juga bisa bertahan begitu lama dalam kontainer di laut dan tidak cepat busuk," ungkapnya.
Apa yang diungkapnya merupakan temuan GPEI di lapangan terkait keluhan masyarakat tentang kendala yang dihadapi. Dirinya mengibaratkan "GPEI adalah payung besar bagi para mitranya'.
"Sebagai payung besar, GPEI menyerap aspirasi dari anggotanya dan kami teruskan ke pemerintah dalam mencari solusinya. Ini loh kendala yang teman-teman hadapi di lapangan. Gimana solusinya?" ujarnya.
Selain itu, komoditas lain yang menjadi komoditas unggulan Jateng ialah briket arang batok kelapa/charcoal. Jika sebelum pandemi bisa mencapai 10 juta ton per bulan kali ini menurun karena terdapat kendala pada pengiriman.
Perusahaan pelayaran masih enggan membawa muatan briket. Banyak hal yg menjadi kendala diantaranya adalah mudah terbakarnya barang tersebut. Namun charcoal buatan Indonesia merupakan charcoal murni tanpa bahan kimia sehingga banyak negara yang melirik produk ini.
Faktor lain adalah persaingan dagang karena ada negara yang mengirimkan produk tersebut bercampur bahan kimia sehingga sangat rentan terbakar dan memang terbakar yang mengakibatkan perusahaan pelayaran defensif untuk
masalah tersebut.
Baginya, keberadaan GPEI bagi pemerintah merupakan mitra. Sebagai mitra, GPEI juga mencari peluang-peluang ekspor ke negara-negara kecil, di luar pasar tradisional.
"Misalnya negara Armenia, kami ketemu dengan duta besarnya dan mereka butuh garmen atau uniform. Ini lagi kami garap dan kami sampaikan ke pemerintah," urainya.
"Tidak hanya fokus mencari celah ekspor, kota juga melakukan konsolidasi dengan SKPD ASN terkait penguatan data, sebab mereka yg punya regulasinya tapi lemah soal data. Begitu juga dengan UMKM, kita rangkul dalam penguatan sumber daya manusia untuk tahu apa dan bagaimana ekspor," tambahnya.
"Bagi GPEI tidak melulu bicara ekspor, tapi bagaimana konsolidasi dan sinergi dengan semua pihak sehingga satu suara. Mulai dari data, program hingga apa langkah yang diambil bila terjadi masalah sehingga ekspor benar-benar menjadi devisa negara," pungkasnya. (TN)