trustnews.id

Jokowi Didesak Tepati Janji Kampanye Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Ketua Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pandawa Nusantara Hendi Saryanto

Jakarta - Perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem. 

Ketua Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pandawa Nusantara Hendi Saryanto mengatakan pada tahun 2014, panel antar pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) mengingatkan bahwa produksi makanan dunia berisiko terpukul akibat kekeringan, banjir, dan perubahan cuaca secara ekstrim.

"Seiring dengan kenaikan suhu bumi akibat dari terjadinya perubahan iklim maka, wilayah pertanian dan perkebunan di seluruh dunia akan terkena imbasnya secara langsung. Pasalnya, kenaikan suhu 1 derajat Celsius saja bisa memicu volatilitas cuaca ekstrim yang merusak kualitas dan kuantitas panen," kata Hendi melalui keterangan tertulis yang diterima, Selasa (2/11).

Bagi Indonesia, kata Hendi dengan adanya perubahan iklim tersebut akan memberikan pukulan berat bagi beberapa sektor baik secara langsung maupun tidak langsung, sektor pertanian yang merupakan penyumbang devisa utama nasional (13-15%, berupa ekspor komoditas minyak sawit, karet, kokoa, hingga rumput laut dan komoditi lainya akan mengalami penurunan produktivitas secara tajam.

Para ahli memprediksi bahwa, Jika seperempat pemasukan devisa terganggu karena anjloknya panen dan produksi batu bara, pemerintah bakal menghadapi problem fiskal yang bakal berujung pada kenaikan utang baru, yang pada gilirannya kian membatasi kapasitas fiskal untuk membiayai program sosial-termasuk di dalamnya program pencegahan perubahan iklim. Namun ironisnya, kedua sektor tersebut juga disinyalir menjadi pemicu perubahan iklim ketika tak dijalankan secara bertanggung-jawab.

"Pembukaan hutan gambut dan pembakaran lahan sawit memicu pelepasan gas rumah kaca ke atmosfir, demikian juga dengan penggunaan produk batu bara tak bersih (non-clean coal)," ungkapnya.

Disi lain, lanjut Hendi sektor energi paling banyak berkontribusi dalam pembentukan emisi GRK dibandingkan sektor lainnya selama 2000-2019. Pada 2019, sektor energi berkontribusi sekitar 34 persen dari emisi GRK di Indonesia, diikuti dengan Kehutanan dan Penggunaan Lahan (25,1 persen) dan Kebakaran Gambut (24,45 persen).

"Indonesia di masa pemerintahan presiden Joko Widodo telah  berkomitmen untuk mengatasi isu  perubahan iklim dengan melakukan kebijakan terkait akses energi, smart and clean technology, dan pembiayaan di sektor energi sebagai langkah-langkah dalam mendukung pencapaian target Paris Agreement, yakni penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan Nationally Determined Contributions/NDC pada 2030 sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan Bantuan Internasional," imbuhnya.

Akan tetapi, pada reliata kenyataanya, menurut Hendi emisi karbon cenderung naik pada 2000-2019, meskipun cukup fluktuatif dari tahun ke tahun, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Secara rata-rata, emisi karbon di Indonesia naik 1,16 juga gigagram setara karbon (Gg CO2e) per tahun. Secara global, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkap bahwa lima tahun sejak Perjanjian Paris disepakati, konsentrasi gas rumah kaca, terutama dari penggunaan energi fosil, belum menurun, WALHI mengungkap bahwa dari tahun 1990-2019 emisi dari penggunaan energi fosil mencapai 38 Gigaton CO2, dengan kenaikan rata-rata 0,9 persen per tahun antara tahun 2010-2019. Di sisi lain, komitmen dari para pihak melalui Komitmen Kontribusi Nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC) belum cukup ambisius menahan suhu bumi dibawah 1,5 derajat," tegasnya.

Pandawa Nusantara dalam hal ini berpendapat bahwa,  pemerintahan Jokowi untuk lebih serius merealisasikan langkah-langkah dalam menurunkan GRK, alokasi anggaran dengan  kisaran Rp86,7 triliun per tahun seperti yang dijanjikan oleh pemerintah harus mampu mewujudkan secara nyata terhadap targetan yang ingin diraih, dan terlaksana secara optimal untuk program-program terkait perubahan iklim.

Selain itu, pemerintah perlu lebih optimal dan mendorong penggunaan EBT dalam bauran energi primer nasional, hal ini dikarenakan pada implementasinya dilapangan , Angka EBT pada 2020 ini masih di bawah target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 13,4 persen pada 2020 dan jauh dari target 23 persen pada 2025.