Media konvensional tetap bisa bertahan dalam era online. Meski kecil namun punya konsumennya sendiri.
Pekembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat, membuat media massa konvensional (cetak dan elektronik) tergagap dalam menyikapinya. Lompatan teknologi bernama internet memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi terbaru dari belahan dunia mana saja hanya melalui handphone.
Tak hanya mendapatkan infomasi terbaru, masyarakat diikutsertakan secara aktif memberikan pendapat terhadap infornasi yang disajikan melalui kolom kometar yang disiapkan oleh para pengelola media online.
Kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan itu, pada sisi lain tentu memberikan tekanan yang sangat berat kepada para pengelola media massa konvensional. Tekanan itu memberikan dua pilihan buat pengelola media konvensional: berubah atau mati.
Perubahan juga terjadi pada pola bisnis. Inovasi disrupsi sebagai inovasi yang secara drastis mengubah pasar. Perkembangan teknologi menjadi area pertarungan baru antar media konvensional dengan model bisnis baru. Dan bagi pemasangan iklan sendiri, perkembangan teknologi memudahkan mereka untuk menempatkan iklannya di media-media dengan jumlah pembaca terbanyak.
Agar tetap bertahan, media cetak sejak beberapa tahun terakhir berubah mengikuti tren teknologi digital. Terjadi fenomena global media cetak beralih ke platform digital karena mengikuti tren perubahan pola konsumsi pembaca.
"Secara teknologi merupakan sebuah keniscayaan untuk mengikutinya. Karena bila tidak mengikutinya media konvensional akan jauh ketinggalan", ujar praktisi media, Nova Darmanto.
"Hanya saja dalam perkembangannya terjadi segmentasi secara alami dalam sebuah revolusi teknologi. Secara industri, media konvensional apakah itu cetak maupun elektronik akan tetap ada konsumennya meski kecil. Tapi peluang pasarnya tetap besar," tambahnya.
Media cetak khususnya, lanjut Nova yang juga tercatat sebagai Kepala Jurusan Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia) Jakarta, terus berevolusi bahkan sejak Johannes Gutenberg menemukan pertama kali media cetak di tahun 1455, terutama di negara Eropa.
"Sejak ditemukan oleh Gutenberg, media cetak terus bertahan sampai dengan detik ini. Kemampuan media cetak untuk bertahan disebabkan kemampuannya untuk berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Termasuk saat dunia secara global mengalami gelombang Digitalisasi," ungkapnya. Dalam kontek Indonesia, media cetak masih sangat dibutuhkan. Ini mengingat Indonesia secara geografis berbentuk kepulauan dan jaringan internet masih belum merata keberadaannya.
"Media cetak buku, misalnya, masih dibutuhkan oleh masyarakat. Meski saat ini banyak berunculan buku-buku elektronik. Dari sisi kultural, masyarakat baru dibilang membaca kalau ada fisiknya dibandingkan dengan buku eletronik," ungkapnya.
Bahkan dalam perkembangannya, buku-buku yang diterbitkan dan di jual secara online, menurutnya, mengalami pembajakan. Tentunya ini berdampak besar akan kelangsungan hidup penerbit buku dan kerjasama dengan pihak internasional.
"Mirisnya buku asli dan buku bajakan sama-sama di jual di lapak-lapak online. Ini memberikan gambaran, meski peminat buku itu sedikit namun pangsa pasarnya ada," ujarnya.
Melalui contoh kasus buku, Nova ingin memberikan gambaran akan nasib media konvensional di era fitalisasi akan tetap ada dengan konsumennya sendiri. "Masyarakat masih ada yang membutuhkan koran atau majalah, karena mereka membutuhkan kedalaman dari sebuah peristiwa," pungkasnya. (TN)