Pertumbuhan Bank Mandiri Regional VIII/Jawa 3 lebih tinggi daripada pasar di Jawa Timur. Secara kontribusi, marginnya dua setengah kali lipat di banding tahun lalu. Apa resepnya?
I Gede Raka Arimbawa, mungkin tak pernah membayangkan, pengangkatannya sebagai CEO Regional VIII/Jawa 3 Bank Mandiri, hanya berselisih hari dengan kabar resmi masuknya virus Corona (Covid-19) di Indonesia.
Tak hanya sampai disitu. Sebagai tindakan memutus penyebaran virus, pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 16 Maret 2020. Padahal belum lagi dua pekan dirinya memimpin sejak dilantik 9 Maret 2020.
Kepada TrustNews, Gede Raka mengaku lebih banyak 'tenggelam' mengurusi restrukturisasi kredit nasabah Bank Mandiri yang terdampak pandemi. "Sepanjang karir saya di Bank Mandiri, baru kali itu setiap hari bahkan Sabtu-Minggu hanya ngurusi restrukturisasi," akunya
"Boleh dibilang di Jawa Timur awal Covid-19 sempat mengalami penurunan (ekonomi), tapi recovery juga lebih cepat. Daya tahannya lebih kuat," tambahnya.
Meski harus' tenggelam' dalam tumbukan berkas restrukturisasi, Bank Mandiri Regional VIII/Jawa 3 mampu tetap tumbuh di tengah keterbatasan. Bisa jadi ini berkat resep yang diterapkannya yakni memilih dan memilah dalam melakukan restrukturisasi yang terdampak. Tapi juga fokus tetap ke pengembangan bisnis baru, termasuk ada support dari pemerintah melalui beberapa kebijakan terkait pandemi.
"Market share kita naik. Pertumbuhan kita lebih tinggi daripada pasar di Jawa Timur. Kualitas kredit dan lain sebagainya terjaga. Bahkan secara kontribusi, margin kita dua setengah kali lipat di banding tahun lalu. Karena kita masuknya ke tempat yang benar," paparnya.
Pemulihan ekonomi lebih cepat, menurutnya, industri Jawa Timur lebih berorientasi ekspor. Beragam kebijakan pemerintah provinsi dalam bentuk stimulus kepada pelaku usaha, baik di sektor industri maupun perdagangan.
Itu terlihat dari data yang dibeberkan Badan Pusat Statistik Jawa Timur (BPS Jatim), kinerja ekspor nonmigas Jatim mengalami pertumbuhan positif. Pada Desember 2020 mampu tumbuh 3,28 persen dibandingkan periode sama 2019, bahkan tumbuh 10,58 persen jika dibandingkan November 2020.
Adapun komoditas ekspor yang mengalami pertumbuhan tertinggi tahun lalu adalah daging dan ikan olahan dengan pertumbuhan 16,8 persen (yoy), lemak dan minyak hewan/nabati tumbuh 6,48 persen. Kemudian perabotan dan penerangan rumah tangga tumbuh 5,03 persen, serta kayu dan barang dari kayu tumbuh 4,7 persen.
"Saya juga baru tahu ternyata ekspor furnitur gede banget. Itu setelah saya dapat data dari pihak Kementerian Perindustrian dan Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), sepanjang sejarah tahun ini ekspornya gila-gilaan," ungkapnya.
"Karena masyarakat di luar negeri banyak work from home (WFH) hingga butuh suasana baru. Bukan hanya soal furnitur, makanan laut siap saji seperti udang juga tinggi ekspornya," urainya.
Selama tahun 2020, nilai ekspor Udang Indonesia mencapai USD2,04 miliar atau 8,8% terhadap nilai impor total udang dunia. Sedangkan, TCT sebesar USD724 juta (5,0%), CSG sebesar USD509 juta (6,0 %), Rajungan – Kepiting sebesar USD368 juta (6,8 %) dan Rumput Laut sebesar USD280 juta (11,4 %).
Bahkan BPS mencatat, secara kumulatif periode Januari – Juni 2021, nilai ekspor produk perikanan mencapai USD2,6 miliar atau naik 7,3% dibanding periode yang sama tahun 2020 dengan surplus neraca perdagangan sebesar USD2,3 miliar atau naik 6,4% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Terkait dengan serapan kredit, dirinya menjelaskan, serapan kredit terbanyak, dari hasil memilah dan memilih, untuk sektor UMKM, yang masih berjalan adalah UMKM yang sifatnya untuk kebutuhan pokok.
Pertama, dari mikro adalah yang bergerak di sektor kebutuhan pokok. Kemudian pertanian, seperti padi dan sayuran, serta peternakan.
Kedua, perusahaan yang berorientasi ekspor yang masih dan malah berkembang adalah furniture dan frozen food hasil laut. Permintaan mengalami kenaikan untuk tujuan Eropa dan Amerika.
Namun di lain sisi, dampak Covid-19 dengan kebijakan pemerintah (PSBB dan PPKM), menurutnya, sektor usaha lain bertumbangan. Mulai dari usaha-suaha di sekitar kampus, kos-kosan, rumah makan, tempt fotocopy hingga jasa laundry.
"Kita masuk kesitu. Kita ada banyak lakukan restrukturisasi dengan harapan bila kondisinya mulai kembali normal, mereka bisa balik usaha lagi. Hanya saja sampai saat ini belum ada satu perguruan tinggi yang buka," paparnya.
Kondisi yang sama juga terjadi di bisnis retail, seperti toko baju, handphone, elektronik, onderdil, restoran atau kafe. Juga banyak yang tutup sebagai dampak PPKM. "Sektor non-esensial ini banyak yang tutup. Ini memberikan dampak bagi kami hingga drop dan tersisa sekitar 10-20 persen saja," ungkapnya
"Mudah-mudahan kondisi yang sudah landai ini bisa terus sehingga rantai ekonominya bisa sambung-menyambung," pungkasnya. (TN)