BRI tak hanya fokus dalam urusan pembiayaan, tapi juga menggarap ekosistem UMKM pertanian dengan menyatukan sektor hulu dan hilir. Agar keluhan harga jatuh di saat panen raya tidak terus terdengar.
UMKM berbasis sumber daya alam seperti sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang cukup kuat bertahan selama pandemi. Ini kian menegaskan bersama pertanian, UMKM sudah terbukti menjadi benteng kokoh saat perekonomian negara diterpa krisis.
Meski tangguh dalam menghadapi pandemi. Bukan berarti UMKM pertanian tumbuh tanpa permasalahan. Ini dicermati oleh Bank Rakyat Indonesia Regional Office Semarang bahwa kendala yang kerap dihadapi para pelaku UMKM di sektor pertanian yakni harga produk justru jatuh saat panen raya. Selain itu, produk pertanian gampang rusak (perishable goods).
"UMKM pertanian datang ke kita mengeluh saat panen raya justru harga produk pertanian mereka malah jatuh. Selain itu mereka juga bingung, kalau produk pertanian mereka tidak cepat terjual akan rusak atau busuk," ujar Regional CEO BRI Semarang, Wahyu Sulistiyono kepada TrustNews.
"Dari keluhan itu, kita di BRI cari solusinya bagaimana perishable goods bisa menjadi durable goods (barang tahan lama) untuk teman-teman UMKM. Untuk menjadi durable berarti harus ada proses lebih lanjut, berarti kita bicaranya sudah hilirisasi," tambahnya.
Persoalannya, lanjutnya, para pelaku di bagian hilir, umumnya tidak masuk dalam kategori UMKM. Melainkan sudah kelas menengah atau korporasi.
"Agar ini nyambung antara UMKM di hulu dan perusahaan di bagian hilir perlu dibentuk mitra agar produk perishable bisa menjadi durable dan ada proses berkelanjutannya," ungkapnya.
Untuk menyatukan sektor hulu dan hilir, lanjutnya, BRI Regional Office Semarang menggandeng Kadin Jateng dengan pertimbangan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin diharapkan bisa menjadi off taker atau bapak asuh dari UMKM binaan BRI.
"Misalnya bekerjasama dengan PT Sido Muncul sebagai perusahaan jamu dan farmasi tentu membutuhkan jahe, minyak atsiri atau produk-produk herbal yang notabene di produksi oleh petani UMKM. Harapan kita ketika petani panen itu produk yangg bisa langsung diserap Sido Muncul atau perusahaan lain seperti Indofood atau wings group," ujarnya.
"Contoh bawang merah begitu panen harganya sudah pasti jatuh. Bayangkan saja, sebelum panen harga rata-rata Rp 21 ribu, tapi begitu panen bisa jadi Rp7 ribu.
Jadi wajar kalau UMKM pertanian berkeluh karena merasa seperti tidak ada kepastian dalam berusaha. Yang kita khawatirkan nggak ada yang mau tanam bawang atau cabe," paparnya.
Upaya hilirisasi produk itu, baginya, bisa terwujud bila ada perusahaan-perusahaan besar mau menampung hasil UMKM pertanian secara berkelanjutan. Sehingga masalah jatuhnya harga di saat panen raya atau membusuknya produk pertanian tidak lagi terulang.
Baginya, BRI dalam upaya menyatukan hulu dan hilir sebagai langkah membangun ekosistem pertanian yang menyeluruh. Sebab ada banyak pihak yang terlibat di mana masing-masing punya peranan yang penting. Karena itu, pihak yang terlibat harus saling mendukung agar tercipta efisiensi.
"Bila ada salah satu pihak di dalam rantai bisnis itu tidak efisien maka keseluruhan ekosistem menjadi tidak efisien," pungkasnya. (TN)