Setiap kali ada gugatan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau biasa disebut presidential threshold, Mahkamah Konstitusi (MK) selalu menolak permohonan para pemohon; dua perkara ditolak pokok permohonannya, sementara yang lain dinyatakan niet ontvankelijke verklaard (NO).
Sudah 13 kali Mahkamah menolak permohonan penghapusan presidential threshold itu. Namun semakin ditolak semakin gencar orang yang mengajukan permohonan. Berjibun alasan hukum telah dikemukakan untuk menyatakan presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945.
Ada yang mengatakan bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) dan (2), kemudian bertentangan dengan pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan (3). Dan, banyak lagi alasan lain yang telah diuraikan dalam pokok permohonan.
Mahkamah menyatakan, presidential threshold adalah open legal policy. Kalau open policy, maka pengaturannya diserahkan ke pembuat undang-undang, dalam hal ini presiden dan DPR.
Revisi UU Pemilu untuk mengubah angka presidential threshold juga dinilai mustahil terjadi karena partai-partai besar yang menduduki mayoritas kursi di parlemen justru akan dirugikan bila threshold diturunkan. Sebab, partai-partai tersebut akan kehilangan pengaruhnya dalam proses pencalonan presiden.
Meskipun demikian, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti tetap optimis presidential threshold (PT) 20 persen. Karena dalam pemahamannya kedaulatan negara berada di tangan rakyat, bukan partai politik.
Atas keyakinannya itu, dia terus bersuara lantang, bahkan tidak berhenti beraksi untuk bisa mendulang dukungan agar presidential threshold (PT) 20 persen segara dihapus.
Menurut LaNyalla, ada beberapa persoalan mendasar yang menjadikan PT 20 persen patut dihapus karena penuh keburukan. Antara lain PT itu tidak sesuai dengan konstitusi. Karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.
Presidential threshold juga mengerdilkan potensi bangsa. Di mana, kemunculan calon pemimpin digembosi aturan main yang otomatis akhirnya mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaik. "Ambang batas pencalonan presiden itu membuat polarisasi yang tajam di masyarakat karena minimnya jumlah calon. Buktinya sampai saat ini bangsa ini masih gaduh, sesama anak bangsa masih terpecah dan berselisih," tuturnya.
Selain itu, ada beberapa persoalan mendasar yang menjadikan PT 20 persen penuh keburukan. Antara lain PT itu tidak sesuai dengan konstitusi. Karena memang tidak ada perintah konstitusi untuk melakukan pembatasan dukungan untuk pencalonan presiden.
"Presidential threshold juga mengerdilkan potensi bangsa. Di mana, kemunculan calon pemimpin digembosi aturan main yang otomatis akhirnya mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaik," ujarnya.
Belum lagi jika dilihat dari sisi partai politik sendiri. Dengan adanya presidential threshold, partai politik yang memperoleh kursi kecil di DPR atau di bawah 20 persen, pasti tidak berdaya di hadapan partai politik besar.
"Mereka akhirnya bergabung. Sehingga yang ada adalah kita hanya akan menyaksikan partai-partai besar yang berkoalisi untuk mengusung calon. Dan bila perlu hanya ada dua calon yang head to head. Atau kalau perlu lawan kotak kosong. Seperti di beberapa Pilkada," jelasnya. (TN)