TRUSTNEWS.ID - Sebagai wadah bagi Asosiasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia, Aspataki yang beranggotakan 142 Perusahaan, concern terhadap penempatan PMI secara prosedural dan berupaya mencegah dan menihilkan praktek-praktek unprosedural yang sangat merugikan.
Ini mengingat, melandainya pandemi telah membuat pemerintah dan negara-negara lain membuka kembali pintu bagi penempatan PMI. Tentunya harus dibarengi dengan kesiapan dengan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Tujuannya untuk memastikan perlindungan kepada para PMI.
"Aspataki yang telah memiliki standar Internasional mutu ISO dan telah lama berkiprah, memberi kontribusi dalam penyaluran pekerja migran, perlindungan para pekerja asal Indonesia di dunia, serta upaya meningkatkan devisa," ujar Saiful Mashud, Ketua Umum Aspataki kepada TrustNews.
Karena itulah, menurutnya, Aspataki yang telah mengirim 32.000 PMI ke berbagai negara di kawasan Asia Pasifik, ini tak lelah meminta agar semua pihak untuk mentaati perlindungan kepada PMI sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).
"Pasal 33 sudah jelas mengatur soal perlindungan hukum terhadap PMI, tapi Pemda masih juga ikut menentukan perlindungan kepada PMI. Sehingga terjadi duplikasi di lapangan peraturan mana yang jadi pegangan," terangnya.
Begitu juga dengan pelaksanaan pasal 40 dan pasal 41 UU PMI bahwa Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki tugas dan tanggung jawab, salah satunya "Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi.
“Sayangnya turunan pasal 9 PP No.59/2021, Permenaker yang mengatur tentang seputar Pelatihan belum terbit sehingga besarnya biaya pelatihan menjadi berbeda-beda, fakta ini jangan salahkan swasta,” kata Saiful.
"Pertanyaannya bagaimana jika pemerintah daerah tidak melaksanakan UU PMI khususnya pasal 40 dan 41. Padahal itu amanat undang-undang, kalau kemudian pembiayaan itu dibebankan kepada PMI darimana PMI mendapatkan biaya pelatihan. Inikan yang jadi masalah," ujarnya.
"Sementara tidak semua negara tujuan penempatan yang dapat menerima pembebasan biaya pelatihan. Lagi pula kita secara resmi dilarang membebani biaya penempatan yang telah dibayar oleh majikan (pasal 72 UU No.18/2017)," paparnya.
Sebab itulah, menurutnya, Aspataki menyambut dengan gembira kebijakan pemerintah terkait Kredit Usaha Rakyat (KUR) penempatan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
"Sebelumnya calon pekerja migran itu harus cari pinjaman ke rentenir atau menjual harta benda. Dengan adanya KUR PMI tidak perlu lagi cari pinjaman ke rentenir yang memasang bunga tinggi dan sangat merugikan PMI," ujarnya.
Dia pun berharap dengan hadirnya KUR PMI menjadi alternatif atau pilihan bagi Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) sebagai solusi yang berbeda dengan KUR TKI yang berlaku sebelumnya.