Pesantren tidak hanya belajar ilmu agama, para santri juga memiliki keahlian yang lain melalui akademi komunitas.
Tak ingin tertinggal dalam era Revolusi Industri 4.0 pesantren-pesantren didorong meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, khususnya para santri, melalui akademi komunitas berbasis pesantren.
Akademi komunitas yang digagas Menteri Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir ini melihat begitu besarnya potensi yang dimiliki pesantren di Indonesia. Dengan potensi yang dimiliki pesantren, Nasir menargetkan 500 pesantren menjadi akademi komunitas di tahun 2024 berdasarkan potensi lokal daerah.
“Saya akan targetkan sekitar 500 pesantren itu bisa untuk dijadikan akademi komunitas. kalau 500 pesantren itu bisa, katakan setiap satu akademi komunitas ada 500 siswanya, jadi kalau 500 pesantren ada 25 ribu, kalau ada 1.000 pesantren berarti ada 500 ribu ini luar biasa. Ini akan kita dorong,” ujar Nasir.
Ditambahkannya, saat ini telah banyak pondok pesantren (Ponpes) yang sudah memiliki jenjang pendidikan SMA/ SMK. Karena tuntutan era teknologi saat ini, menurut Nasir Ponpes harus didorong untuk meningkatkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Nasir, mantan Rektor Terpilih Universitas Diponegoro (Undip) ini mengambil contoh Jawa Tengah terdapat lebih dari 90 pondok pesantren dan Jawa Timur lebih dari 70 pondok pesantren yang memiliki pendidikan SMK, namun baru ada dua akademi komunitas di ponpes yang berdiri di Jawa Tengah.
Begitu juga dengan Cirebon, menurutnya, perlu mengembangkan potensi dan kearifan lokal Cirebon. Seperti ‘Herbalife’ yang menjadi salah satu fokus Stikes khas Kempek.
“Kalau Stikes khas Kempek dapat memformulasikan paten Herbamedicine maupun Herbalife karena Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Sehingga obat-obatan berbahan baku lokal bisa dihasilkan dari santri Kempek ini, agar kedepannya bangsa Indonesia menjadi mandiri dan tidak lagi tergantung dengan obat-obatan impor,” ujarnya.
Nasir menuturkan, melalui akademi komunitas pendidikan vokasi pada jenjang perguruan tinggi bisa dilaksanakan. Pendidikan vokasi tersebut, nantinya bisa dikembangkan untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan lebih cepat.
“Kita ingin mendorong pondok pesantren yang SDM-nya begitu banyak tetapi potensinya yang semacam itu belum kita gali secara baik. Semua komuniti-komuniti di lingkungan pondok pesantren yang ada perguruan tingginya, tapi tingkat pendidikannya masih rendah nanti kita akan dorong kualitasnya, supaya saat menghadapi bonus demografi bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujarnya.
Lebih jauh Nasir mengatakan, pendidikan vokasi di pesantren hanya berhenti pada teknik elektro, teknik mesin, atau teknik komputer saja. Tetapi harus dikembangkan sesuai dengan potensi di daerahnya. Hal ini untuk meningkatkan daya saing di industri dan mengembangkan potensi daerahnya.
“Kita perlu membangun pendidikan tinggi atau keterampilan di pesantren. Jadi tidak hanya belajar ilmu agama, tapi juga keahlian yang lain,” tegasnya.
Adapun pendidikan vokasi, lanjutnya, dapat melalui akademi komunitas memiliki status yang sama dengan perguruan tinggi lain, dengan jenjang pendidikan Diploma Satu (D-1) dan Diploma Dua (D-2). Hal ini diyakini Nasir sebagai salah satu upaya meningkatkan Global Competitiveness Index, khususnya di bidang higher education and training.
Namun jika tidak mampu di program perguruan tinggi, menurutnya, akan diturunkan menjadi akademi komunitas. Hal itu sesuai dengan arahan Presiden untuk meningkatkan kualitas SDM. Untuk mendorong program, Kemenristekdikti akan melakukan pendampingan-pendampingan ke pondok pesantren di seluruh Indonesia. (TN)