Lima tahun dana desa digulirkan. Dalam kurun waktu tersebut, jumlah desa tertinggal akan terentaskan menjadi 8.000 sampai 9.000 desa.
Ingat kisah Sangkuriang dan Bandung Bondowoso. Keduanya dalam cerita diminta membangun perahu dan 1.000 candi sampai ayam jantan berkokok. Dalam kehidupan nyata, tugas yang dipanggul Sangkuriang dan Bandung Bondowoso itu ada di pundak Eko Putro Sandjojo yang dipercaya sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Bukan tugas yang mudah menggelontorkan dana miliaran ke desa untuk digunakan oleh rakyat desa dalam membangun desanya. Tak terbayangkan, rakyat desa yang kesehariannya hanya mengenal cangkul dan sawah, mendadak disuruh mengelola dana miliaran rupiah.
Pada saat yang sama, belum ada sistem penggunaan dana, sistem pelaporan dana dan sistem pengawasannya. Ketiadaan sistem tersebut, dikhawatirkan dana desa yang disalurkan menjadi ‘bancakan’ dan berujung pada terjeratnya aparat desa dalam kasus korupsi.
Hanya saja, masyarakat desa bukan lagi menjadi subjek pembangunan, tapi menjadi objek untuk keluar dari lingkar kemiskinan dan mengejar ketertinggalannya. Masyarakat desa diyakini mampu untuk mengelola dana dalam membangun desanya sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Lahirnya UU Desa secara tidak langsung mengubah cara pandang dari ‘desa lama’ ke 'desa baru’, dimana dalam 'desa baru’ ada pengakuan dan penghormatan negara kepada desa dengan memberikan mandat kewenangan dan pembangunan kepada desa, serta redistribusi sumberdaya negara kepada desa.
Di antara skeptis dan keyakinan itulah dana desa dikucurkan, hasilnya dalam kurun waktu 4,5 tahun (sejak 2015-2018) telah banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang besarannya terus mengalami kenaikan tiap tahunnya. Tahun 2015 Rp.20,67 triliun, tahun 2016 Rp.46,98 triliun, tahun 2017 Rp.60 triliun, tahun 2018 Rp.60 triliun dan tahun 2019 Rp.70 triliun, dengan total keseluruhan Rp.257,65 triliun.
Dengan anggaran sebesar itu, menghasilkan 191,6 ribu kilometer (km) jalan desa; 1.140,4 km jembatan desa; 9 ribu unit pasar desa; 4.175 unit embung desa; 24,8 ribu unit posyandu; 959,6 ribu unit sarana air bersih. Kemudian, 240,6 ribu unit Mandi, Cuci, Kakus (MCK); 9.692 unit Polindes; 50,9 ribu unit PAUD; 29,5 juta unit drainase; 58.000 unit irigasi dan 1,1 juta meter jembatan.
Melihat capaian yang diperoleh, Presiden RI Joko Widodo dalam pertemuan dengan para kepala desa se-Indonesia di April lalu, secara tegas menginginkan dana desa yang dikucurkan tidak kembali lagi ke Jakarta, namun berputar di desa.
"Jangan biarkan uang Rp.257 triliun itu kembali lagi ke Jakarta, jangan," ujar Presiden Jokowi.
Presiden pun memberikan contoh, saat membangun infrastruktur, kepala desa diminta membeli bahan bangunannya dari desa. Tenaga kerja yang membangun infrastrukturnya juga harus dari desa. Jokowi bercerita bahwa pernah ada warga yang mengatakan lebih suka membeli semen di kota daripada di desa. Alasannya karena harga semen di kota lebih murah.
"(Saya tanya) murah berapa sih? (Dia bilang) Ya Rp 5.000-Rp 7.000. (Saya suruh) tetap beli di desa, meskipun lebih mahal, beli di desa," ujar Jokowi yang meminta uang miliaran itu terus berputar di desa. Harapannya, semakin lama uang yang beredar di desa-desa akan semakin banyak. "Teori ekonominya seperti itu, berputar di desa," kata dia.
Dengan capaian yang menggembirakan tersebut, tidak terlalu berlebihan bila Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo mengumbar optimis bahwa status desa tertinggal akan mengalami penurunan hingga mencapai 9.000 pada akhir 2019.
"Saya yakin selama 5 tahun periode 2014-2019 ini, jumlah desa tertinggal akan terentaskan hingga akhir tahun 2019 menjadi 8.000 hingga 9.000," ujarnya.
Keoptimisan yang diumbar Eko bukan tanpa alasan. Dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yakni mengentaskan 5.000 desa tertinggal dan meningkatkan desa berkembang menjadi desa mandiri, nyatanya telah terlampaui.
Target tersebut terlampaui berdasarkan data hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat bahwa jumlah desa tertinggal mengalami penurunan sebesar 6.518 desa dari sebanyak 19.750 desa tertinggal pada 2014 menjadi 13.232 desa tertinggal pada 2018. Sedangkan untuk desa berkembang mengalami peningkatan sebesar 3.853 desa dari 51.026 desa pada 2014 menjadi 54.879 desa pada 2018.
"Target RPJMN sudah terlampaui, namun, tugas kita belum selesai. Kita akan terus fokus untuk mengentaskan desa tertinggal di Indonesia. Keberhasilan ini, tentunya berkat kerja keras dari semua pihak yang telah bekerja keras dalam memastikan program dana desa maupun program kementerian lainnya berjalan dengan baik," paparnya.
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan berdasarkan pendataan potensi desa atau Podes 2018 jumlah desa tertinggal saat ini sudah berkurang sebesar 6.518 desa dibandingkan tahun 2014. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan berkurangnya jumlah desa tertinggal itu membuktikan bahwa target Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 dapat terlewati.
Suhariyanto mengatakan desa mandiri saat ini bertambah sebesar 2.665 desa. "Jadi target RPJMN ini bisa tercapai ya dan kita berharap juga ke depannya banyak desa-desa yang nanti bisa menjadi desa mandiri," kata dia di gedung BPS, Jakarta, Senin, 10 Desember 2018.
Sebelumnya, ia menjelaskan dalam target RPJMN 2015-2019 untuk pembangunan desa, ditargetkan jumlah desa yang berkurang sebesar 5.000 desa dan desa mandiri bertambah sedikitnya 2.000 desa.
Suhariyanto menjelaskan dalam Podes 2018, terdapat Indeks Pembangunan Desa (IPD) digunakan untuk menunjukkan tingkat perkembangan desa dengan status tertinggal, berkembang dan mandiri. Hasilnya, kata dia, desa tertinggal saat ini berjumlah 14.461 atau 19,17 persen, desa berkembang sebanyak 55.369 atau 73,40 persen, dan desa mandiri sebanyak 5.606 desa atau 7,43 persen. Angka itu di dapat dari total seluruh desa di tahun 2018 sebanyak 75.436.
"Menurut status IPD sebaran desa tertinggal paling banyak berada di Papua, Maluku, dan Kalimantan," kata dia
Lebih lanjut, Eko menyampaikan bahwa keberhasilan melampaui target tersebut tidak terlepas dari adanya program dana desa. Apalagi, dengan adanya program dana desa ini, desa juga terus semakin maju karena bisa terlihat dengan telah dibangunnya sebanyak 191.600 kilometer jalan desa, 1.140.378 meter jembatan, 58.931 unit sarana irigasi, 959.569 unit sarana air bersih, 240.587 unit MCK, 50.854 unit PAUD, 24,820 unit posyandu dan sejumlah pembangunan lainnya.
"Banyak pembangunan yang dilakukan secara masif di seluruh desa dengan adanya program dana desa. Dana desa juga menjadi salah satu faktor dari berkurangnya angka kemiskinan dan pengurangan angka stunting. Untuk tahun ini, kita berharap pemerintah desa bisa memprioritaskan anggaran dana desanya untuk pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat agar perekonomian desa dan masyarakatnya bisa terus meningkat," katanya.(TN)