
Industri Farmasi Indonesia Bergerak Dengan Laju Tertahan
TRUSTNEWS.ID - Industri farmasi Indonesia adalah cermin paradoks pembangunan. Ia vital, tapi rapuh. Ia tumbuh, tapi tertahan. Pertarungan antara kebutuhan dasar dan keterbatasan ekonomi membuat sektor ini berjalan di jalur sempit.
Di atas kertas, prospeknya tampak cerah. Selama manusia hidup, kebutuhan akan obat tidak pernah surut. Namun kebutuhan itu tidak serta-merta menjamin pertumbuhan.
Elfiano Rizaldi, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI), mengatakan, industri farmasi Indonesia, yang seharusnya menjadi salah satu tulang punggung sistem kesehatan nasional, justru bergerak dengan laju tertahan.
"Proyeksi pertumbuhan 2025 diperkirakan hanya 5–6 persen, angka yang mengecewakan untuk pasar sebesar 270 juta jiwa," ujar Elfiano Rizaldi kepada TrustNews.
"Dulu orang masih sanggup beli vitamin atau suplemen. Sekarang daya beli tergerus. Mereka lebih memilih membayar sekolah anak atau ongkos transportasi," tambahnya memberikan gambaran.
Kalimat itu menyiratkan ironi. Industri yang mestinya tahan krisis justru terhambat. Bagi sebagian masyarakat, membeli obat kini bukan lagi prioritas utama.
Daya beli yang melemah membuat keputusan sederhana seperti membeli vitamin berubah menjadi dilema ekonomi rumah tangga.
"Farmasi memang tidak pernah kehilangan pasar, tapi kuantitas permintaan terus menurun," ungkapnya.
Kondisi itu diperparah oleh kebijakan fiskal yang menekan belanja kesehatan. Sejumlah program pemerintah sempat terhambat akibat pemotongan anggaran, terutama di level daerah.
Pertumbuhan pasar yang tersisa sebagian besar justru bertumpu pada rumah sakit, baik lewat Jaminan Kesehatan Nasional maupun asuransi swasta.
Sementara apotek, yang selama ini menjadi etalase utama bagi publik, kian terjepit oleh margin tipis dan persaingan yang tidak seimbang. Masalah klasik lain ikut membebani. Lebih dari 90 persen bahan baku obat masih bergantung pada impor. Setiap fluktuasi nilai tukar atau kenaikan harga global langsung mengguncang biaya produksi.
Pandemi Covid-19 memberi pelajaran pahit bagaimana rentannya ketergantungan ini. Pasokan sempat macet, harga melambung, dan industri dalam negeri tak berdaya karena minim substitusi lokal.
"Farmasi ini seperti berjalan di atas tali. Sedikit guncangan bisa membuatnya goyah," ujarnya.
Di sisi lain, riset dan inovasi, yang mestinya menjadi motor kemandirian, juga belum mampu menopang. Investasi di bidang ini masih minim, baik dari sisi anggaran pemerintah maupun kontribusi swasta.
"Tanpa riset yang kuat, Indonesia hanya akan terus menjadi pasar bagi produk global, bukan produsen yang mampu bersaing di kancah internasional," ungkapnya.
Lebih lanjut dijelaskannya, perlambatan pertumbuhan ini kontras dengan struktur industrinya yang luas. Dari industri hulu bahan baku, produsen formulasi obat jadi, hingga ribuan distributor besar yang tersebar di seluruh Indonesia, rantai pasokannya melibatkan jutaan tenaga kerja.
Industri farmasi bukan sekadar hitung-hitungan margin, melainkan jantung yang menjaga ketersediaan obat bagi masyarakat.
"Setiap gangguan dalam rantai ini bisa berdampak langsung pada kehidupan publik," ujarnya.
Di tengah tantangan itu, GPFI tetap memegang peran strategis. Asosiasi ini menaungi 11 industri bahan baku, lebih dari 200 produsen formulasi, hingga 2.000 distributor besar. Jaringannya merambah 24 provinsi dan sejumlah kabupaten.
"Peran kami jembatan," jelasnya. "Kami edukasi, sosialisasi, dan menyampaikan aspirasi pelaku usaha kepada pemerintah. Karena regulasi yang tidak sesuai realitas akan menyulitkan industri bergerak," paparnya.
Elfiano menekankan, yang dibutuhkan industri bukan sekadar regulasi yang bagus di atas kertas, melainkan kebijakan yang berpijak pada realitas.
"Tanpa langkah konkret mengurangi ketergantungan impor, memperkuat riset, dan menyehatkan iklim fiskal, industri farmasi hanya akan berputar dalam lingkaran rapuh," tegasnya.
GPFI memperkirakan situasi bisa membaik setelah 2026, saat pemerintah berencana kembali mengucurkan dana kesehatan lebih besar.
"Kalau anggaran kembali naik, distribusi obat ke daerah akan lebih lancar, baik untuk preventif maupun kuratif," pungkasnya. (TN)